Page 201 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 201

Pada hari sebelum aku kembali ke Bandung, aku menyem­
                 patkan diri mendekati batas kerajaan Suhubudi di wilayah yang
                 digambarkan Pak Pontiman. Ada sebuah gapura besar di sana,
                 dengan tulisan Jawa yang keriting tak kumengerti. Gapura itu
                 menandai pintu masuk di sebuah jalan khusus. Satu­satunya
                 jalan  aspal  yang  memang  dibuat  menuju  ke  kerajaan  itu.  Di
                 kanan kiri gapura tak tampak pagar batu ataupun besi. Tetapi
                 rumpunan bambu yang rapat tegak berjaga­jaga, lebih angker
                 ketimbang  pagar  mati.  Mereka  adalah  barisan  hidup  yang
                 gerak­gerik dan miangnya memberi tanda padaku bahwa di sini
                 adalah batas wilayahmu dari wilayah kami.
                     Tapi aku bukan orang dusun yang takut pada takhayul. Tak
                 ada yang menghalangi aku untuk melewati gapura itu. Tak ada,
                 kecuali  sebuah  rasa  yang  belum  kuketahui  mengenai  Parang
                 Jati sahabatku. Rasa ini lembut. Ia berasal dari sisi terdalam
                 diriku yang rentan dan pemalu. Sebab cangkang luarku adalah
                 kasar,  jahil,  dan  tak  santun.  Sebagaimana  dalam  bilangan  fu
                 aku  menyembunyikan  sesuatu  yang  aku  tak  ingin  orang  lain
                 tahu, sesuatu yang membuat aku malu, demikian pula aku tahu
                 bahwa Parang Jati menyembunyikan sesuatu yang ia tak ingin
                 orang lain tahu, sesuatu yang membuat ia malu. Di dalam sana.
                 Ya, di dalam sana.
                     Betapa  aku  ingin  masuk  ke  sana,  melewati  batas  gapura
                 dan  jajaran  pohon­pohon  bambunya.  Di  dalam  sana  Parang
                 Jati menyimpan sebuah rahasia. Sebuah rasa sakit yang indah,
                 kukira.
                     Kuputuskan  untuk  pergi.  Aku  tidak  ingin  memperkosa
                 sahabatku.  Kunyalakan  mesin  Landroverku  yang  terbatuk­
                 batuk. Aku membalik arah dan mencari jalan menuju Bandung.
                 Aku  memendam  kerinduan  yang  aneh  pada  sahabatku,  yang
                 berasal  dari  pengetahuan  bahwa  masing­masing  kami  me­
                 mendam sebuah rahasia. Sesuatu yang sangat peka.




                                                                        1 1
   196   197   198   199   200   201   202   203   204   205   206