Page 226 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 226
paling purba, yang terbit bersama masyarakat bercocoktanam,
sebelum tiba agamaagama asing. Dia memiliki duabelas bulan
pula. Sebab musim yang sama kembali pada kemunculan bulan
ketigabelas, maka tigabelas adalah angka yang gaib, yaitu
angka di mana sesuatu menjadi satu kembali. Duabelas bulan
itu diberi nama satu, dua, tiga dan seterusnya, kecuali bulan
kesebelas dan keduabelas, yang adalah bulan kabisat. Yaitu,
bulan yang harinya ditambah atau dikurangi demi penyesuaian
dengan musim. Bulan itu dinamakan Hapit Lemah dan Hapit
Kayu. Bulan kabisat tanah dan kayu. Parang Jati lahir pada
bulan kabisat Kayu. Pada bulan terakhir, hari yang terakhir,
yaitu hari yang ditambahkan di tahun itu.
Ketika Hindu berkembang di pulau Jawa, dua bulan
yang terakhir itu—Hapit Lemah dan Kayu—juga dinamai ber
dasarkan angka Sanskerta. Bulan Dhesta, yaitu kesebelas. Dan
bulan Sadha atau Asadha atau Kasadha, yaitu keduabelas.
Ketika Islam masuk, Sultan Agung Mataram nan istimewa
menerapkan tarikh baru berdasarkan perhitungan Hijriyah.
Dinamainya tahun Jawa. Sebab, ia tidak menggunakan angka
tahun Hijriyah melainkan melanjutkan angka tahun Saka yang
tengah berlangsung, namun dengan perhitungan Hijriyah—
yaitu, almanak yang sepenuhnya berdasarkan bulan. Kalender
baru ini tidak mengenal harihari kabisat. Dengan demikian,
penanggalan Hijriyah tidak berkenaan dengan musim di bumi.
Ia berkenaan dengan bulan di langit. Tapi bercocoktanam
adalah perbuatan manusia di bumi, maka diamdiam orang
Jawa tetap memelihara Pranata Mangsa setidaknya sampai
tigabelas kali seratus tahun kemudian. Yaitu, selama mereka
masih bertani.
Salah seorang yang masih merawat windu, wuku, tahun,
bulan, dan pekan Jawa adalah Suhubudi. Demikianlah, akhir
bulan Sadha berhimpitan dengan pertengahan bulan Juni.
Pada musim inilah orang mengadakan Sajenan di Watugunung.
21