Page 228 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 228
anak itu menggenggam telunjuk dewasanya. Disodorkannya
tangan lembut kecil itu pada pandangan lelaki yang baru
datang.
Suhubudi menyimak dan menggelenggelengkan kepala
bagai terpukau.
“Seseorang telah membuangnya karena anak ini berjari
duabelas, atau karena dia anak jadah,” katanya.
Manyar menggeleng. “Ini anakku. Namanya Parang Jati,”
ujarnya sambil tersenyum. Lalu ia serahkan bayi itu ke pelukan
Suhubudi. “Peliharalah.”
Kemudian hari Suhubudi menafsirkannya demikian. Se
perti ikan pelus keramat yang memelihara mataair di bawah
bukitbukit kapur, bayi ini berasal dari laut. Dalam bahasa
Jawa kuna, parang adalah karang, si batu laut. Jati adalah
sejati ataupun asal. Anak ini adalah parang yang sejati, ataupun
sesuatu yang sejatinya adalah parang. Seperti pelus yang
berasal dari laut Selatan, anak itu pun datang dari samudra di
mana semayam istana Sang Ratu Segara Kidul. Kerajaan Tasik
Wedi. Laut Selatan telah menitipkan bayi ini.
Bahwa seseorang telah meletakkan keranjang berisi bayi
di sana, itu sudah pasti bagi mata orang modern. Dan itu telah
niscaya pula bagi Manyar. Sedemikian niscaya, maka itu tak
penting lagi baginya. Yang penting bagi dia adalah bahwa
kehadiran bayi ini memiliki arti. Dan ia memberikan arti yang
pertama. Parang Jati. Tak penting siapa yang membuang anak
ini dan apa alasannya. Apakah karena si bocah cacat berjari
duabelas. Apakah dia anak tak berayah. Yang demikian itu tak
penting. Yang utama adalah bahwa keranjang itu diletakkan
di sendang ketigabelas, yang hampir tak pernah dikunjungi
orang desa namun yang setiap hari ia kunjungi. Siapapun yang
meletakkan keranjang di sana, dia tahu bahwa Manyar sang
juru kunci mataair akan menemukannya. Karena itu, bayi ini
hidup atau tak hidup melalui dia. Dialah garba, atau pintu,
21