Page 373 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 373

manusia menyiapkan daging itu. “Sekali lagi,” katanya, “saya
                 bukan anti. Saya hanya kritis.”
                     Seperti  biasa,  Marja  minta  didongengkan  cerita  hantu.
                 Aku  tahu  aku  lebih  pandai  mendongeng  hantu  ketimbang
                 sahabatku. Kubilang padanya bahwa lelaki yang bangkit dari
                 kubur itu kini telah menjadi penunggu bukit­bukit. Orang desa
                 percaya  bahwa  kadang  ia  menampakkan  diri  sesaat  sebelum
                 hilang dalam rupa asap. Demikianlah, Kabur bin Sasus telah
                 menambah  daftar  menu  bangsa  halus  di  wilayah  ini.  Setelah
                 itu,  giliran  Parang  Jati  bercerita.  Marja  ingin  memuaskan
                 dorongannya akan kisah­kisah yang pernah ia dengar di masa
                 kecil.  Tentang  wewegombel  yang  suka  menculik  orang  desa
                 pelamun dan mengembalikannya setelah tiga hari memberinya
                 makan cacing. Ketika itu, oleh penduduk desa, korban biasanya
                 ditemukan termenung­menung di tempat yang ganjil—seperti
                 di atas pohon musykil. Tentang hantu banaspati yang berupa
                 bola api; rumah yang didatanginya sudah pasti akan langsung
                 kematian  anggota  keluarga.  Tentang  hantu  gundul  pecingis
                 yang tak punya tujuan selain membikin ngeri manusia. Parang
                 Jati  kehilangan  kata­kata.  Ia  rupanya  tak  pandai  menakut­
                 nakuti orang.
                     Aku mengambil giliranku lagi.
                     “Kalau gitu, mau kuceritakan tentang penampakan berupa
                 manusia serigala tidak? Ini pengalamanku sendiri!” Tapi mata­
                 ku  melirik  pada  Parang  Jati,  menaksir­naksir  apakah  ia  me­
                 ngerti apa yang aku maksud. Adakah ia mengenali Sebul-ku.
                     “Di Watugunung itu aku pernah melihat satu sosok. Ba­
                 dannya  manusia,  tapi  kepala  dan  kakinya  serigala.  Ia  punya
                 buah dada, tapi ia juga punya kelamin jantan…”
                     Parang Jati diam saja. Matanya seperti biasa, polos­nyaris­
                 bidadari. Ia mendengarkan ceritaku seperti menyimak sebuah
                 dongeng baru. Wajahnya mengira­ngira apakah bualanku bisa
                 memuaskan kekasihku. Tapi aku tidak membual.


                                                                        3 3
   368   369   370   371   372   373   374   375   376   377   378