Page 370 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 370
aku telah tahu, betapa modernis naif rasa ingin tahunya—ada
betulan atau tidak. Kulihat Parang Jati tersenyum padanya.
Matanya sangat lembut dan sabar.
“Itu tidak penting, Marja. Ada secara obyektif itu tidak
penting. Yang penting adalah, apakah dia bermakna.”
Marja tidak kelihatan mengerti.
“Yang penting adalah, apakah cerita itu mengasyikkan,”
lanjut Parang Jati. “Sudahlah… Lupakan.”
“Jadi di sini Mbok Manyar menyuruh kalian mencari han
tu orang yang bangkit dari kubur itu?”
Ada angin yang bertiup dari dalam goa ke arah luar.
Hembusan arwah manusia prasejarah, ataukah zombie yang
bangkit dari tidurnya sebab hari telah padam tanda sudah
saatnya berkeliaran. Marja menjerit dan menampakkan wajah
takut dan senang sekaligus. Sudah waktunya tidur. Kami
menyusup ke dalam tenda. Kami telah menyiapkan yang
senyaman mungkin bagi Marja. Kasur pompa yang empuk. Dua
lelaki sehat yang akan mengamankan dia di tengahtengah.
Dan jika hantu itu datang dari arah kepala atau kakinya, kami
telah melindungi dia dengan ranselransel kami. Malam ini
Marja akan seperti bayi yang aman dengan dua ayah untuk
membayangkan hantuhantu bertebaran di sekeliling kemah.
Tapi tentu saja aku tak bisa tidak mengajaknya bercinta
diamdiam. Di tengah malam aku mencium untuk memba
ngunkannya. Kuturunkan celananya sementara ia masih ngan
tuk dan berbaring menyamping membelakangi aku. Marja
berusaha menahan erangannya. Tapi nafasnya, tak bisa tidak,
berhembus di tengkuk Parang Jati. Sahabatku tak bergerak,
tapi tubuhnya kaku. Ia bukan tidur melainkan menahan se
suatu. Ketika kami telah selesai dan berbaring tenang terkulai
bagaikan lelap, aku merasakan gerakan lain yang lembut
pada kasur angin kami. Amat lembut. Tetapi aku tetap bisa
merasakan, pada tekanan kasur, otototot yang pelanpelan
3 0