Page 391 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 391
“Dari mana ayahmu menuliskan bilangan hu itu, Jati?” aku
mencoba dingin.
Ia mengajak kami berdiri lagi, dan menyaksikan dengan
seksama mataair Hu, yang arusnya berpusarpusar. Di sanalah,
konon, ia ditemukan dalam sebuah keranjang pandan. Di tem
pat burung hantu jelmaan nyai penjaga mataair bernyanyi hu
hu. Konon, suku kata pertama yang keluar dari mulut bayi itu
bukanlah ma atau pa, melainkan hu, sambil ia mengacungkan
jarijarinya yang duabelas sempurna. Lihatlah, kolam mataair
itu berpusarpusar dari sebuah titik kecil menjadi besar. Dialah
gerakan dalam bilangan itu, bilangan yang mewahyukan diri
bersama sang bayi.
Aku tertegun.
“Tapi jangan mempercayainya terlalu serius,” tegur Pa
rang Jati dengan nada bercanda, mengganggu rasa terpukau
yang mencekam aku dan Marja.
Yang ia katakan lebih dalam dari gurau. Kelak aku mengerti
bahwa inilah yang ia maksud dengan sikap kritis. Sebuah sikap
yang menyertai “laku kritik”. Sikap yang mempercayai sesuatu
sekaligus menunda sesuatu itu. Sikap yang tahan menanggung,
memanggul, penundaan itu. Penundaan kebenaran. Manusia
menginginkan kebenaran hari ini juga. Sayangnya, kebenaran
itu tak ada hari ini, meski harus dipercaya setiap hari. Kebe
naran, jika ia menampakkan diri hari ini, tak lain tak bukan
adalah kecongkakan. Laku kritik adalah menahan kecongkak
an. Ia memikul beban berat itu, agar jangan kebenaran jatuh ke
tanah dan menjelma pada hari ini.
Biarlah kebaikan yang menjadi pada hari ini. Bukan
kebenaran.
3 1