Page 402 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 402
keasyikan dengan mengajar bahasa Inggris kepada putriputri
Pak Pontiman. Aku bisa melihat betapa anakanak perempuan
itu, terutama dua yang beranjak perawan, mengidolakan Marja.
Kekasihku tampak kuat, bebas, keren, dan terpelajar. Ia gadis
dengan cahaya kota. Tak seperti kebanyakan perempuan desa
yang, meskipun kuat, memiliki kekuatan di bidang yang tidak
mengilaukan glamor bagi warga desa. Mereka kuat bertani,
berladang, dan beranak. Tapi kekuatan ini tidak bersinar
memukau lagi sehingga kekuatan demikian diabaikan.
Harus kuakui, pujian meluapnya yang tulus kepada Marja
membuat aku kurang bisa berbagi perasaan sebal yang dimiliki
Parang Jati terhadap Pontiman Sutalip. Apa lagi kepala desa
ini telah menampungku dengan sangat hangat sementara
ketika itu Parang Jati belum siap mengajak aku menumpang di
padepokan ayahnya yang bagai negeri Majapahit.
Kopi yang dihidangkan itu begitu manisnya. Seperti kolak.
Seperti air gula dengan bumbu kopi. Itu membuat Parang Jati,
yang hanya minum kopi jika pahit, menjadi semakin dongkol.
Parang Jati menggunakan kesempatan itu untuk sedikit
menyinggung tentang sendangsendang desa yang telah mulai
keruh. Sebagian sumber air itu telah berwarna coklat tanah
sekarang, karena hutanhutan di perbukitan di atasnya telah
rusak. “Apa tidak bisa penebangan liar itu dihentikan?” Ia
tak tahan tak menambahkan: “Penambangan skala besar itu
juga merusak ekosistem kawasan ini”—dan mengundang Pak
Pontiman untuk hadir dalam diskusi lanjutan yang akan di
adakan oleh para peneliti besok lagi. Agar Pak Pontiman
tahu betapa dunia luar menghargai kawasan ini sementara
kepala desa itu tidak. Betapa para ilmuwan dan budayawan
mengagumi wilayah ini sementara tak ada usaha agar warga
mengerti kembali kearifan lokal.
Pak Pontiman menjawab dengan gayanya yang khas. Se
telah mendengarkan tamunya dengan alis yang dikerutkan
3 2