Page 537 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 537
Sepeda Parang Jati sesungguhnya. Tapi ia telah tak bisa
memboncengi aku lagi. Aku yang mengayuh di depan sekarang.
Aku mendayung ke sana, melewati muka gerbang Padepokan
Suhubudi. Guru kebatinan itu kini membuka sekolah modern
untuk kelas menengah dan atas yang memiliki program ling
kungan hidup, di Jakarta dan Yogya. Demi kenangannya
akan putranya. Demi menebus dosa komprominya dengan
perusahaan di masa silam, yang sesungguhnya telah ia revisi
lama. Saduki Klan, juga si Tuyul Jahanam dengan mata terbalik
itu, masih berpentas sebagai tontonan kelas bawah, sambil
menyusupkan isuisu pelestarian alam. Dan aku, secara larut
aku semakin menikmati kesunyian manakala aku menempati
kamar Parang Jati di wilayah jeron yang tak membolehkan
orang berbicara. Di dalamnya, mimpi Sebul datang kadang
kadang, namun lebih kerap ketimbang jika aku berada di
tempat lain. Dan, di dalam mimpi itu, aku menjadi Sebul dan
Parang Jati menjadi aku. Parang Jati tak pernah lagi menatap
padaku, bahkan dalam mimpiku. Hanya Sebul. Bulsebul. Ma
nusiaserigalajantanbetina itu. Yang dikenal baik oleh asam
asam purba tubuhku.
Aku meninggalkan gerbang padepokan. Aku mengayuh,
menuju benda angkasa yang melayang di puncak Watugunung,
mengenang malam bulan ketilam. “Bulan ketilam adalah bu
lan setelah purnama menuju bulan mati. Bulan kesidi adalah
bulan setelah mati menuju purnama,” kata Parang Jati kepada
Marja. Tapi orang modern sudah melupakan beda antara bulan
sidi dan tilam, bulan menuju purnama dan menuju mati, sebab
mereka telah tak pernah melihat kepada lampulampu Tuhan
lagi.
Pada sebuah malam bulan ketilam itulah terakhir kali
Parang Jati menatap kepadaku. Dengan mata bidadari yang
letih, dalam, namun juga mengambang.
2