Page 536 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 536
Agaknya, kesendirian inilah yang memaksa Kupukupu
meninjau ulang pandanganpandangannya. Setelah tiga tahun
tanpa kekuasaan, ia muncul kembali sebagai orang yang ber
beda. Tepatnya sebagai orang biasa. Ia mengenakan pakaian
biasa. Kemeja batik dengan celana panjang atau sarung. Peci
sederhana, terutama jika hendak ke surau. Inilah pakaian
yang dikenakan oleh guru agama halus budi dan bersahaja itu:
Penghulu Semar. Ia bahkan memperbaiki dan merawat mesjid
kecil peninggalan almarhum guru agamanya itu.
Ketika aku bertemu dengannya beberapa waktu lalu itu, ia
tidak nyaman dengan pembicaraan mengenai Parang Jati.
“Ya… Almarhum orang baik,” jawabnya lirih. Tanpa ragu
ia memakai kata “almarhum”. “Sebetulnya, saya setuju dengan
tujuan almarhum untuk menjaga lingkungan alam. Hanya
saja, kami kadang berbeda cara.” Suaranya berubah ragu,
sebelum segera ia menambahkan: “Sebetulnya, inti pandangan
almarhum sama dengan pandangan almarhum guru agama
saya yang saleh.” Seolaholah dia tak pernah berseteru bahkan
berbuat kurang ajar mengenai Penghulu Semar. Seolaholah
dia selalu murid yang baik.
Aku memandang dia dengan nyinyir. Seandainya abangmu
tidak mati, bisakah kamu menyetujui agendaagendanya, atau
kah kamu terus terjebak dalam perlawananmu terhadap dia?
Aku sepakat bahwa aku tak bisa mengharapkan jawaban
apapun dari sosok yang masih menyisakan persoalan eksistensi
diri.
Kali ini pun aku menghindari papasan dengannya. Tam
paknya ia pun begitu.
Bulan tiga perempat telah tampak di langit siang. Tipis
seperti kuarsa luar angkasa yang menyingkapkan sebuah pe
san. Ia melayang bagai hendak mendarat di ujung Watugunung
yang hitam kelabu. Kutegakkan sepedaku yang tadi tersandar.
2