Page 85 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 85

Agak siang orang-orang Jepang baru datang, dengan suara sepatu
              boot memenuhi ruangan. Gadis-gadis itu segera menyadari, ba gaimana-
              pun mereka masih tahanan, dan merasa aneh telah merasa begitu baha-
              gia. Gadis-gadis itu mundur membentur dinding, dan kembali menjadi
              gadis-gadis murung. Kecuali Dewi Ayu, yang segera menyapa salah satu
              dari tamu itu.
                 ”Apa kabar?”
                 Ia hanya menoleh sekilas padanya, tak hirau dan pergi menemui
              Mama Kalong. Mereka berbicara sebentar, lalu ia kembali dan meng-
              hitung jumlah gadis-gadis tersebut sebelum pergi kembali bersama yang
              lain-lainnya. Rumah itu kembali sepi, hanya mereka dan Mama Kalong
              serta beberapa prajurit yang terus berkeliaran di luar rumah.
                 ”Ia menghitung seolah kita gerombolan prajurit,” salah satu dari
              mereka mengomel.
                 ”Sebab itulah pekerjaan seorang Komandan,” kata Mama Kalong.
                 Sepanjang hari itu tak ada hal yang mereka kerjakan, kecuali ber-
              kerumun di ruang tamu atau di salah satu kamar, dan tanda-tanda
              kebo sanan mulai menyergap mereka. Bahkan mereka mulai kehilangan
              bahan untuk dibicarakan, setelah saling bernostalgia pada masa kecil
              yang menyenangkan, jauh sebelum perang. Mereka juga tak lagi mem-
              bicarakan apa pun mengenai palang merah, sebab tak ada tanda-tanda
              bahwa mereka sungguh-sungguh akan jadi sukarelawan. Jepang-Jepang
              itu tak membicarakan apa pun mengenai hal itu, bahkan tidak juga hal
              lain. Mereka berpikir, seharusnya ada sedikit latihan untuk jadi sukare-
              lawan, tapi kelihatannya mereka akan membusuk di rumah itu, dalam
              kemewahan yang tak masuk akal. Lagi pula pikirkan hal ini, kata salah
              satu dari mereka, front berada jauh entah di mana, mungkin di lautan
              Pasif k, mungkin di India, tapi jelas bukan di Halimunda. Tak ada prajurit
              terluka di kota ini, dan tak seorang pun membutuhkan palang merah.
                 ”Mereka masih butuh tukang amputasi leher,” kata Dewi Ayu.
                 Kalimat itu tak lagi terasa lucu, terutama karena orang yang me nga-
              takannya tampak tak peduli dengan apa pun. Ia begitu me nikmati segala
              sesuatunya, memakan apel-apel yang disediakan, serakus memakan
              pi sang dan pepaya.
                 ”Kau ini rakus atau kelaparan?” tanya Ola.
                 ”Dua-duanya.”

                                           78





        Cantik.indd   78                                                   1/19/12   2:33 PM
   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90