Page 86 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 86

Sampai keesokan harinya, tak ada sesuatu terjadi atas mereka, me-
                 nambah-nambah kebingungan. Ola mencoba menghibur diri, mungkin
                 mereka akan ditukarkan dengan tawanan perang lainnya, dan untuk
                 itu mereka diberi makanan yang baik, rumah serta pakaian, agar tak
                 tam pak menderita. Tak ada satu pun di antara gadis-gadis itu percaya.
                 Kesempatan untuk bertanya datang ketika muncul kembali beberapa
                 orang Jepang ke rumah itu, bersama tukang foto. Tapi tak satu pun di
                 antara mereka bisa bicara Inggris, Belanda dan apalagi Melayu. Mereka
                 hanya memberi isyarat untuk bergaya, sebab gadis-gadis itu akan difoto.
                 Dengan enggan mereka berjejer di depan kamera, dengan senyum
                 ter paksa, berharap Ola benar bahwa potret mereka akan dijadikan
                 kam panye mengenai keadaan tawanan, dan setelah itu akan ada tukar-
                 menu kar tahanan perang.
                    ”Kenapa kalian tidak tanya pada Mama Kalong?” tanya Dewi Ayu.
                    Dan mereka menemui perempuan itu, menuntutnya.
                    ”Kau bilang kami sukarelawan palang merah?”
                    ”Sukarelawan,” kata Mama Kalong, ”mungkin bukan palang merah.”
                    ”Lalu?”
                    Ia memandangi gadis-gadis itu, yang balas memandangnya penuh
                 ha rap. Wajah-wajah lugu yang nyaris tanpa dosa itu terus menunggu,
                 sampai Mama Kalong menggeleng lemah. Ia pergi meninggalkan mereka
                 dan mereka segera mengejarnya. ”Katakan sesuatu,” pinta mereka.
                    ”Yang aku tahu, kalian tahanan perang.”
                    ”Kenapa dikasih banyak makanan?”
                    ”Supaya tidak mati.” Lalu ia menghilang di halaman belakang, pergi
                 entah ke mana. Gadis-gadis itu tak bisa mengejarnya sebab prajurit-pra-
                 jurit Jepang menghadang mereka dan membiarkan perempuan itu pergi.
                    Kejengkelan mereka semakin bertambah-tambah ketika kembali ke
                 dalam rumah dan menemukan teman mereka yang satu itu, Dewi Ayu,
                 tengah duduk di kursi goyang sambil bersenandung kecil dan masih
                 memakan buah-buah apelnya. Ia menoleh pada mereka, dan menyung-
                 gingkan senyum melihat wajah-wajah yang menahan kemarahan. Kalian
                 tampak lucu, katanya, serupa boneka gombal. Mereka berdiri menge-
                 lilinginya, tapi Dewi Ayu tetap diam, hingga salah satu dari mereka
                 akhirnya berkata:

                                              79





        Cantik.indd   79                                                   1/19/12   2:33 PM
   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91