Page 83 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 83

mawar. Lemari-lemarinya masih dipenuhi pakaian-pakaian, beberapa
              milik seorang gadis, dan Mama Kalong berkata bahwa mereka boleh
              mem per gunakan pakaian-pakaian itu. Ola bahkan berkomentar, setelah
              dua tahun di dalam tahanan, semua ini terasa seperti mimpi.
                 ”Apa kubilang, kita sedang tamasya,” kata Dewi Ayu.
                 Mereka memperoleh kamar sendiri-sendiri, dan kemewahan itu tak
              ber akhir sampai di sana. Mama Kalong, dibantu seorang jongos, men-
              jamu mereka makan malam dengan sajian rijsttafel yang lengkap, yang
              terbaik setelah menderita kelaparan berbulan-bulan. Satu-satunya hal
              yang membuat kebanyakan dari gadis-gadis itu tak me nikmati keme-
              wahan yang berlebihan tersebut adalah ingatan pada orang-orang yang
              ditinggalkan di dalam kamp.
                 ”Seharusnya Gerda ikut,” kata Ola.
                 ”Jika kita tak dikirim untuk kerja paksa di pabrik senjata, kita bisa
              menjemputnya.” Dewi Ayu mencoba menenangkan Ola.
                 ”Ia bilang kita sukarelawan palang merah.”
                 ”Apa bedanya, kau bahkan belum tahu bagaimana membalut luka,
              apalagi Gerda?”
                 Itu benar. Tapi bagaimanapun mereka telah dibuat terpesona oleh
              bayangan menjadi sukarelawan palang merah, tak peduli berada di
              pihak musuh. Paling tidak, itu lebih baik daripada di kamp tahanan
              dan mati kelaparan di sana. Mereka mulai meributkan beberapa perkara
              pertolongan pertama. Seorang gadis berkata bahwa ia anggota pandu,
              dan tahu bagaimana membalut luka, dan tak hanya itu, ia bahkan tahu
              bagaimana mengobati penyakit-penyakit ringan semacam sakit perut,
              demam dan keracunan makanan dengan tanaman obat.
                 ”Masalahnya, prajurit Jepang tak butuh obat sakit perut,” kata Dewi
              Ayu. ”Mereka butuh orang yang bisa mengamputasi leher.”
                 Dewi Ayu pergi meninggalkan mereka, masuk ke kamarnya. Dise bab-
              kan ia satu-satunya yang paling tenang di antara mereka, meskipun ia
              bukan yang paling tua, mereka mulai menganggapnya sebagai pemim pin.
              Dengan kepergiannya, kesembilan belas gadis itu mengikutinya ke kamar,
              bergerombol di atas tempat tidur dan kembali membicarakan bagai mana
              mengamputasi leher prajurit Jepang seandainya kepala mereka terluka
              dan tak lagi berguna. Dewi Ayu tak memedulikan omongan mereka yang

                                           76





        Cantik.indd   76                                                   1/19/12   2:33 PM
   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88