Page 124 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 124
a yu Utami
aku ingin berteriak: tentu saja, Ibu baru saja kematian
anak, dan pemuda itu bicara tentang kebangkitan. Tentu
saja Ibu tergiur. Tapi aku mulai dewasa dan tahu bahwa ka-
lau kukatakan begitu, itu akan sangat melukai hati ibuku.
aku memakai jurus lain. “May, tahu surat Rasul Paulus kan?
I Korintus 13. Pada akhirnya adalah tiga hal ini: iman, peng-
harapan, dan kasih; dan yang paling besar di antaranya adalah
kasih. Berbuat kasih itu lebih besar daripada iman sekalipun.
Kok bisa menyiar jadi segala-galanya!”
Ibuku mulai kewalahan mengatasi debatanku. akhirnya
ia putuskan bahwa aku memang belum siap untuk dibaptis.
Mataku dan hatiku belum sepenuhnya tercelik—itu istilah
yang ia pakai, yang membuat aku semakin jengkel sekaligus
geli, sebab kata itu hanya kupakai untuk burungku. Sesung-
guh nya aku tidak punya keberatan apapun pada orang-orang
perhimpunan ini. Mereka semuanya baik hati, jujur, dan sa-
ngat berperhatian pada yang lemah. Tapi, keberatanku se lain
soal Hari Kiamat adalah ini: apa tidak cukup orang men jadi
baik? apa tidak cukup menjadi seperti ayahku? Me ngapa
orang harus jadi pengkabar juga, memaksakan iman kita pa da
waktu dan telinga orang lain?
aku dan ayah menemani, tepatnya menonton, Ibu di bap-
tis. Upacara itu berlangsung di Mataair Tandikat. Di Tandikat
ada danau kecil dengan air terjun mungil di tengah alam yang
asri. Ibuku mengenakan pakaian putih. Ibu dipersilakan me-
nutup hidungnya. lalu dengan hati-hati pemimpin upacara
mencelupkan kepalanya ke dalam air. Resmilah Ibu menjadi
seorang Saksi Yehuwa.
23 Maret 1973.
Di Jakarta, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden
118
Enrico_koreksi2.indd 118 1/24/12 3:03:54 PM