Page 129 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 129
Ce r i t a Ci n t a E n r i c o
aku kecelakaan dan butuh darah, aku akan terima transfusi
ya, Pay.” Saksi Yehuwa melarang transfusi darah.
ayahku memandangi aku. “Tentu saja. Kamu masih muda.”
nadanya tanpa ragu. lalu ia yang kini diam sebentar. “Kalau
aku, aku tidak akan terima transfusi. Karena aku sudah tua.
Kalau aku terima darah orang, paling berapa tahun hidupku
akan bertambah. Tapi ibumu akan menyesal sepanjang sisa
hidupnya. Untuk apa.” Ia memandangi aku lagi. “Kalau kamu,
kamu punya hidupmu sendiri.”
Betapa rindu aku untuk memeluk ayahku erat-erat. Ke-
ingin anku untuk tampak gagah dan dewasa menahanku.
ayahku memberi tiket bagi kebebasanku tanpa menun tut
apapun. Kini tinggal aku dapatkan tiket itu dari Ibu. Berapa pun
akan kubayar, asalkan aku bisa mendapatkan kebebasanku...
ayam-ayam ibuku kini lebih dari seribu ekor. Tapi mereka
bukan “ayam sungguhan” lagi. ayam sungguhan bagiku adalah
ayam kampung. Ialah ayam-ayam yang bulunya belang-belang,
punya karakter dan kemauan sendiri-sendiri. ayam yang
masih bisa kukenali sebagai individu dan karenanya pantas
mendapatkan nama. Si Blirik, Si Mamak, Si Boleng, Si Jalu, Si
Jintan, Mordekhai...
Tapi, pada suatu zaman, datanglah apa yang disebut se-
bagai ayam leghorn. Ibu membelinya dalam bentuk telur, yang
harganya tiga kali lipat telur ayam kampung dan besar nya ham-
pir dua kalinya. Telur-telur raksasa itu kami selipkan dalam pe-
tarangan di mana induk-induk terbaik mengeram. Datang lah
waktu menetas. Dan, wahai, piyik yang keluar dari dalam nya
berwarna emas. Tanpa bintik tanpa bakal belang. ayam-ayam
123
Enrico_koreksi2.indd 123 1/24/12 3:03:55 PM