Page 199 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 199
Ce r i t a Ci n t a E n r i c o
memang sangat senang dengan rumah baru kami, pohon ram -
butan dan jambunya, serta anjing-anjing yang bisa kami peli-
hara di sana. Itulah taman firdaus kami.
Tanpa kusadari, itulah periode aku menjadi ayam broiler,
persis bersamaan dengan datangnya ayam-ayam jenis be-
gini. Kerjaku hanya belajar dan membantu Ibu merawat
te man-temanku, yaitu ayam-ayamnya. aku tidak lagi jadi
ayam kampung yang belang-belang. Di masa-masa itu pula
aku dipaksa untuk berhimpun—wajib di hari Minggu, dan
tambahan di hari Selasa atau Kamis jika bukan di kedua hari
tersebut. Seperti sudah kukisahkan di awal, kita tidak perlu
mengerjakan PR untuk ke gereja, tapi ada pekerjaan rumah
yang akan menghabiskan satu dua bahkan tiga jam sebelum
kau bisa pergi berhimpun. Dan semua itu hanya agar kami
bisa dibangkitkan kembali di Hari Kiamat yang akan tiba pada
ulang tahunku yang ketujuhbelas!
lalu, seperti telah kuceritakan di muka, semenjak kami
mengunjungi Jawa aku pun melihat cara untuk melepaskan
diri dari ibuku.
Begitu menjadi mahasiswa di Bandung, merdeka dari Ibu,
aku melakukan segala hal yang ia tidak ingin aku lakukan.
Merokok. Bercinta. Berjudi. Berolahraga. lari sepuasku, me-
ngejar lari yang tak kudapatkan di Taman Melati dulu. Melu-
pakan agama. Merayakan hari lahirku setiap tahun. Terbebas
dari ibuku sama artinya bagiku dengan terbebas dari Hari
Kiamat. aku masih sempat ke dokter jantung di Jakarta sam-
bil membawa surat dari dokter jantung di Padang sekutu Ibu.
Hasilnya sama: aku tak dianjurkan untuk beraktivitas fisik
keras. Persetan, kataku dalam hati. Dokter itu sendiri gemuk,
merokok, dan tersengal-sengal. Seperti kubilang aku mencoba
193
Enrico_koreksi2.indd 193 1/24/12 3:03:56 PM