Page 80 - PRODUK BUKU MAHASISWA
P. 80
“Waktu itu Santi disuruh memilih saya atau Arifin
menjadi suaminya. Ternyata Santi memilih saya.
Karena takut digebuk masa, ya saya terima saja.”
“Saharalala menuturkan, persoalan ini sebenarnya
berawal sejak setahun lalu. Ketika itu, ia berkunjung
ke rumah Muin dan melihat sosok Santi yang
nyatanya telah memikat hatinya.”
“Santi digarap di rumahnya pertama kali saat tengah
hari bolong. Namun ia membantah jika dirinya
dituduh menggarap Santi dengan cara paksa. “Saya
melakukan perbuatan itu berdasarkan suka sama
suka, kok,” tukas Saharalala.”
“Saya berpikir jangan-jangan ini anak kalau dipakai,
senyum juga. Makanya saya jadi tergoda untuk
mengajak Santi ke rumah saya,” kata Saharalala”.
Berdasarkan lima penggalan kalimat di atas, posisi pembaca
secara keseluruhan teks berita itu sangat bias gender, karena
peristiwa tersebut diceritakan dalam pandangan laki-laki
(Saharalala), lengkap dengan prasangka dan pemihakannya.
Wanita (Santi) bukan hanya tidak ditampilkan, tetapi
kehadirannya bahkan di tampilkan oleh laki-laki (Saharalala).
Tidak mengherankan, dalam teks semacam ini wanita selalu
menjadi objek, selalu dipandang dan direpresentasikan secara
buruk. Sebaliknya laki-laki dihadirkan dan ditampilkan dalam
citra yang baik karena mereka yang menceritakan peristiwa
perkosaan tersebut. Yang menarik untuk dilihat juga bagaimana
pembaca diposisikan di antara posisi dan pihak yang terlibat
dalam teks. Pembaca diposisikan sebagai pihak laki-laki
(Saharalala) karena mengikuti kisah perkosaan dan pembaca
diposisikan seperti ia sedang memerankan Saharalala dalam
pemberitaan tersebut. Dengan pemosisian seperti itu, pembaca
tidak akan banyak protes, karena selaras dengan apa yang
diinginkan oleh penulis. Dan pada akhirnya “kerja sama” antara
Scientific Inquiry untuk Materi Analisis Wacana Kritis 75