Page 5 - e-modul bab 11 PAI
P. 5
pembaru, seperti: Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyyah, Ibn al-
Qayyim al-Jauziyah dan lain-lain, atau mengikuti hasil keputusan
Majlis Tarjih (lembaga musyawarah hukum Islam melalui
pengumpulan dalil-dalil terkuat dari al-Qur‟an dan hadis).
3. Segala hal baru mengenai ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah adalah bid’ah (membuat syariat baru yang terlarang
dalam agama), seperti mengeraskan bacaan zikir, zikir bersama
dan lain-lain. KH. A. Dahlan menyerang sinkretisme (pencampur-
adukan ajaran) dan pengaruh animisme maupun agama lain yang
dianggapnya menodai Islam dan sudah membudaya. Ia juga
menolak praktik-praktik kultural keagamaan seperti tahlilan dan
segala ritus yang tidak secara jelas bersumber pada al-Qur‟an dan
hadis yang sahih (otentik) (Karim, 1986:5).
4. Menggunakan metode hisab (penghitungan astronomi mate-
matis) untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.
5. Lebih peduli pada pengembangan pendidikan formal daripada
pendidikan non formal seperti pesantren.
6. Lebih peduli pada program sosial kemasyarakatan daripada
pelaksanakan ritual keagamaan yang bersifat kultural.
Meski Muhammadiyah banyak berkontribusi terhadap moder-
nisasi umat Islam di Indonesia, organisasi dan gerakan ini tidak
terlepas dari kritik. Sejumlah kritik yang diarahkan pada Muham-
madiyah antara lain:
1. Kaderisasi kompetensi keulamaan di Muhammadiyah terkesan
lamban
2. Minim lembaga pencetak kader keulamaan yang solid seperti
pesantren
3. Pola ibadah cenderung “kering” dari nuansa penghayatan dan
tasawuf
4. Gerakan dakwahnya bersifat elitis dan akademis di daerah
perkotaan.
3. Basis Massa
Menurut Mujani (dalam Asyari, 2010:1), lebih dari 25 juta
muslim Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah. Pada umumnya
mereka berada di daerah perkotaan dan merupakan kaum terpelajar.
MM Billah (dalam Yunahar, 1993:11) berpendapat bahwa basis sosial
dari Muhammadiyah adalah sekolah modern, para pedagang,
penduduk kota, para petani, dan mencakup wilayah Jawa dan luar
Jawa.
4