Page 213 - PDF Compressor
P. 213

dikatakan  melakukan  tindak  pidana  tidak  disebutkan  dengan  jelas.
                     Sanksi denda bagi korporasi tidak disertai dengan pedoman pemidanaan,
                     seperti jika tidak terbayarnya denda tersebut.
                            Ketentuan  pidana  dalam  UU  Pers  menganut  sistem  perumusan
                     alternatif  dan  tunggal.  Kedua  sistem  ini  bersifat  kaku  dan  imperatif,
                     sehingga  dapat  menimbulkan  masalah  apabila  diterapkan  terhadap
                     badan  hukum/korporasi.  Oleh  karena  itu,  lebih  tepat  digunakan  sistem
                     alternatif-kumulatif  agar  dapat  memberikan  fleksibelitas  bagi  hakim
                     untuk memilih pidana yang tepat bagi pelaku, baik untuk orang maupun
                     korporasi.  Untuk  jenis  sanksi  pidananya  hanya  pidana  penjara  dan
                     denda, sedangkan untuk sanksi administrasi atau tindakan tidak diatur.
                     Padahal dalam Undang-Undang Pers ini, lebih banyak mengatur subjek
                     tindak pidana berupa korporasi, tetapi sanksinya hanya denda tanpa ada
                     pidana tambahan maupun sanksi administrasi.
                            Selain  itu,  ketika  terjadi  tindakan  pelanggaran  yang  dilakukan
                     pers,  baik  yang  dilakukan  insan  pers  maupun  lembaga  persnya,  tidak
                     serta  merta  harus  dilaksanakan  melalui  jalur  pengadilan.  Menurut
                                              12
                     Gultom  (Haryadi,2011)    ,  jika  ada  pihak  terkait  menanggapi  suatu
                     pemberitaan,  penulis  meminta  pers  terbuka,  menerima  dan  memuat
                     beritanya,  sekaligus  meminta  maaf  seperti  yang  pernah  dilakukan  oleh
                     Pemimpin  Redaksi  Sinar  Indonesia  Baru  (SIB)  yang  memuat  Karikatur
                     Nasib  Suar-Sair  dan  Pemimpin  Redaksi  Denmark  Jyllands-Postenatas
                     penerbitan  kartun  Nabi  Muhammad,  sehingga  persoalan  itu  tak  perlu
                     diselesaikan  secara  pro-yustisia  hingga  ke  pengadilan.  Cukuplah
                     diselesaikan  lewat  klarifikasi  pemberitaan  sebagaimana  diatur  dalam
                     pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers. Namun, jika perusahaan pers tak mau
                     melayani hak jawab maupun koreksi, pihak yang merasa dirugikan dapat
                     menggugatnya secara perdata menggunakan UU Pers, dengan hukuman
                     denda paling banyak Rp500 juta.
                            Memang,  selain  dalam  KUHPidana,  ketentuan  yang  berimbas
                     pada sanksi pidana terdapat juga dalam sejumlah undang-undang yang
                     berkait dengan kehidupan pers, di antaranya dalam Undang-Undang No.
                     40  tahun  1999  pada  Pasal  18  ayat  (2),  perusaan  pers  yang  melanggar
                     ketentuan pasal 5 ayat (1) dan (2): “Pers Nasional berkewajiban memberitakan
                     peristiwa  dan  opini  dengan  menghormati    norma-norma  agama  dan  rasa
                     kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah; pers wajib melayani Hak
                     Jawab”,  Pasal  13:  “Perusahaan  pers  dilarang  memuat  iklan:  a.  yang  berakibat
                     merendahkan  martabat  suatu  agama  dan  atau  mengganggu  kerukunan  hidup
                     antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; b.


                                                       211
   208   209   210   211   212   213   214   215   216   217   218