Page 70 - PDF Compressor
P. 70
c. Era Orde Baru
Pada awal Orde Bary (1970-an) pers di Indonesia melahirkan
model jurnalisme pembangunan (development journalism) yang
berdasarkan Pancasila atau dikenal juga sebagai Jurnalisme Pancasila
atau Pers Pancasila. Pers bertugas di antaranya menjaga stabilitas,
kesatuan bangsa dan dukungan aktif dalam proses pembangunan. Tugas
itu merupakan tuntutan semua pers yang ada di Indonesia. Pemerintah
Indonesia, yang dikuasai oleh Golkar dan ABRI ikut memformat
kebebasan pers, bahkan sensor isi media juga merupakan bagian dari
kewenangan mereka. Pers pada jaman ini yang mendukung pada
program pembangunan dan harus memegang prinsip bebas dan
bertanggung jawab. Walaupun realitasnya kehidupan pers sangat
bergantung pada kehendak pemerintahan. Jika terdapat pers yang
melenceng dari kebijakan pemerintah, maka pemerintah mengambil
tindakan yang sangat keras dengan melakukan pembredelan, seperti
yang menimpa Harian Indonesia Raya (1974) dan majalah Tempo, DeTik
dan Editor (1994).Pembredelan bagi pers adalah ditariknya Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang diberikan oleh Departemen
Penerangan.
Selain metode yang represif, budaya telepon pun menjadi
hambatan kebebasan pers. Jika terdapat berita ‚panas‛ yang menyangkut
pemerintah, tidak jarang pemerintah, melalui Departemen Penerangan
atau lembaga lainnya menepon redaksi untuk menghentikan berita
tersebut. Bahkan, kalau coba-coba redaksi atau wartawan memaksa untuk
memberitakan, maka redaksi atau wartawan tersebut berada dalam
ancaman.
Secara organisatoris para wartawan pun diatur secara ketat. Sejak
tahun 1969 mereka diwajibkan untuk menjadi anggota PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia), yang pengurusnya diwakili tidak hanya oleh para
wartawan yang setia pada pemerintah dan para para petinggi militer
(Hill 1995: 67). Hanya PWI yang berhak mengeluarkan kartu pers.
Pemecatan sebagai anggota PWI berarti juga secara de facto larangan
untuk bekerja sebagai wartawan. Kenyataan bahwa Serikat Penerbit
Suratkabar (SPS) didirikan dengan dukungan PWI dan bahwa sebagian
besar orang-orang yang sama duduk dalam kepengurusannya,
menunjukkan karakter elit PWI dan menjadikan penyatuan keduanya
sebagai ‚kembar siam‛ (Hill 1995: 74).
Dewan Pers yang ada pada saat itu memiliki tugas resmi sebagai
jembatan antara pemerintah dan kalangan media. Mereka harus memberi
masukan politik dalam proses pemberian SIUPP. Dewan Pers didirikan
tahun 1967 melalui peraturan presiden telah menunjukkan bahwa
68