Page 73 - PDF Compressor
P. 73
ini sangat berpengaruh besar pada nasib media massa nasional. Krisis
yang terjadi di Indonesia sejak lebih kurang tahun 1997-an, juga ikut
mencabik-cabik kondisi media massa nasional. Kendati krisis yang
menimpa media massa nasional ini nampaknya dimulai dari secercah
harapan kebebasan, tetapi realitas membuktikan kondisi media massa
nasional masa ini malah semakin memburuk.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang nampaknya banyak
berpihak pada upaya pembebasan pers dari belenggu kekuasaan, seperti,
pembebasan SIUPP, pembebasan organisasi kewartawanan, dan lain
sebagainya, tampaknya berujung pada ikut terseretnya media massa
nasional pada berbagai krisis. Krisis pers nasional masa kini tak jauh
berbeda dari krisis yang mendera bangsa dan negara ini. Semua krisis
tersebut bermuara pada krisis kepercayaan dan krisis akhlak (moral).
Pers nasional yang dalam definisi sebenarnya, mencakup seluruh
media massa, baik media elektronik maupun media cetak, telah terjebak
pada kubangan krisis. Kekuatan yang bersumber dari kebebasan yang
diberikan pemerintah pada era reformasi, disikapi oleh sejumlah insan
pers nasional dalam arogansi kebablasan. Inilah yang mendorong
surutnya kepercayaan masyarakat terhadap media massa nasional.
Berbagai kebijakan pembebasan yang diberikan pemerintah
dimanipestasikan oleh sebagian insan pers dalam frame pesta pora.
Kearifan dan kedewasaan insan pers nasional yang diharapkan
pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi kebijakan kebebasan tidak
menjelma. Sebagian insan pers yang didorong dengan lahirnya insan
pers-insan pers ‚karbitan‛, telah bersikap kekanak-kanakan. Mereka
menyikapi kebebasan dengan euporia kebablasan. Inilah yang
mengakibatkan menaiknya kuantitas perusahaan media massa di Tanah
Air tidak diimbangi dengan kenaikan kualitas insan pers.
Merekalah yang tidak menyadari bahwa dunia media massa
bukan sekedar perhitungan untung rugi. Siapapun yang menjadi insan
pers tidak dapat hanya beracuan pada frame demi keuntungan finansial.
Namun, dunia pers adalah dunia yang penuh dengan idealisme. Pers
tanpa idealisme, dalam arti kata hanya mengejar keuntungan finansial,
tidak bedanya dengan perusahaan rokok kretek, perusahaan teh botol,
perusahaan gula-gula, dan sejenisnya. Perusahaan semacam itu tidak
berhak menamakan dirinya pers.
Keseimbangan sikap dalam mensejajarkan idealisme dan
keuntungan finansial tak dapat ditolak harus menjadi acuan gerak
langkah insan pers. Ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mengelola media
massa yang ideal-komersial. Jika lebih mengedepankan sisi ideal, media
massa tidak akan hidup lama. Sebaliknya, jika mengutamakan sisi
71