Page 76 - PDF Compressor
P. 76
kalau menengok ke masa lalu, SIUPP dapat bernilai milyaran rupiah. Ada
juga media massa yang berusaha bertahan; dalam kondisi kembung
kempis; tempo terbit-tempo tidak. Tak sedikit pula media massa yang
dapat bertahan hidup, tetapi rela mengorbankan idealisme. Mereka hidup
bergantung dari partisan pihak-pihak yang memanfaatkan kekuatan pers,
sehingga indikasi pers penghianat yang memutarbalikan idealisme
dengan membuat pemberitaan yang membenarkan yang salah dan
menyalahkan yang benar mungkin saja terjadi.
Inilah yang memunculkan sosok insan pers (wartawan) dalam
potret menakutkan. Dari satu sisi pers memang memiliki kekuatan
dengan posisi menjadi penguasa keempat dan di sisi lain pers pun dapat
menjadi penyebar isyu, gosif , bahkan fitnah. Oleh karena itu, makna
ketakutan yang dimiliki masyarakat dan pemerintah pun tidak lagi dalam
konteks ketakutan yang murni; karena mereka mempunyai kesalahan.
Masyarakat atau siapa saja yang tidak bersalah pun akan didera rasa
takut jika didatangi insan pers.
Itu semua bermuara dari kualitas insan pers dalam menyajikan isi
pemberitaan. Kualitas di sini tidak hanya dalam konteks keterampilan
dalam menyajikan berita, tetapi kualitas akhlak (moral) insan pers.
Banyaknya pemberitaan yang bertolak belakang dengan peristiwa yang
sebenarnya, banyaknya komplain dari nara sumber karena mereka tidak
merasa memberikan pernyataan seperti yang ditulis, banyaknya ilmuwan
yang tidak mau diwawancara, banyaknya pemberitaan yang hanya
mengandalkan pengindraan, dan lain sebagainya adalah bukti bahwa
insan pers tidak memiliki keterampilan yang cukup.
Makin banyaknya WTS (wartawan tanpa surat kabar), tak
sedikitnya kasus pemerasan yang dilakukan oknum wartawan,
banyaknya pemberitaan yang menyudutkan salah satu pihak, makin
suburnya budaya amplop, makin kentalnya nepotisme negatif antara
wartawan dan pihak tertentu, munculnya profesi baru: oknum wartawan
merangkap calo, dan kasus-kasus negatif lainnya, dapat diindikasikan
makin merosotnya moral wartawan.
Rendahnya kualitas sebagian besar insan pers masa kini, baik dari
sisi keterampilan maupun akhlak, pada euporia pers nasional masa kini
sangat dimungkinkan. Dengan pembebasan SIUPP, pemerintah tidak
melakukan proses seleksi pendirian media massa, baik dari sisi kelayakan
4
usaha maupun dari sisi kelayakan pengelola. Tarman Azam (2010) pun
pernah mengakui bahwa ada juga sopir angkot (maaf) jadi pemimpin
redaksi. Hal itu sangat memungkin freeman, calo, atau orang berprofesi
74