Page 75 - PDF Compressor
P. 75
Kebijakan pembebasan SIUPP bagi penerbitan pers, dari sisi
kuantitas memicu lahirnya media massa baru yang tentu menelorkan
pula insan pers-insan pers baru. Karena tanpa jaring-jaring pengaman,
mereka lahir begitu saja, bertelur begitu saja, dan mati begitu saja. Hal ini
kentara sekali menimpa media cetak di Tanah Air.
3
Menurut cacatan Happy Bone Zulkarnaen (2002) , pada tahun-
tahun awal pembebasan SIUPP, jumlah penerbitan pers (media cetak)
mencapai 1.600, tetapi tiga tahun kemudian turun dratis; yang tinggal
tidak lebih dari 300. Sementara itu, Noor Achirul Layla (2002) mencatat
pada tahun 1998 jumlah media cetak di Indonesia sekitar 200, tiga tahun
kemudian jumlahnya melipat hingga delapan kali lipat atau lebih kurang
1.600 buah. Namun, empat tahun kemudian tinggal 800 buah.
Melipatnya kelahiran media cetak, tentu menelorkan insan pers
yang jauh lebih besar. Bila pada masa Orde Baru jumlah wartawan hanya
mencapai angka 6.000 orang, pada era reformasi jumlahnya berlipat-lipat.
Majalah Pantau (majalah khusus tentang media massa dan jurnalisme di
Indonesia) memperkirakan jumlah wartawan media cetak pada tahun
2002 mencapai lebih dari 12.000 orang dan perkiraan PWI Pusat sekitar
20.000 orang
Hal serupa terjadi juga pada media elektronik. Televisi, sebelum
tahun 1998 hanya mencapai 6 stasiun nasional, kini jumlahnya bertambah
menjadi puluhan stasiun, belum termasuk televisi daerah yang termasuk
dalam kategori provincial tv seperti, JTV di Jawa Timur, Papua TV, TV
Bandung, STV, Chanel TV, PJTV, MQTV dan sebagainya. Jumlah radio
pun meningkat pesat, dari sekitar 700 radio sebelum tahun 1998
kemudian berlipat menjadi lebih dari seribu stasiun radio hidup di Tanah
Air.
Sayangnya, pesatnya kuantitas media massa tersebut tidak
imbangi dengan pesatnya kualitas para insan pers. Padahal insan pers
adalah nakoda materi pemberitaan bagi kandungan isi pesan media
massa. Dalam konteks inilah, diperlukan insan pers yang ‚mumpuni‛.
Mereka harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan perusahaan
pers, sehingga dari sisi finansial menguntungkan, dengan tidak
mengorbankan idealisme.
Menjamurnya media massa pada pasca pembebasan SIUPP, tetapi
diikuti dengan bergelimpangannya media massa yang mati, dapat
dijadikan bukti bahwa banyak insan pers yang tidak mampu untuk
mengelola media massa. Mereka mendirikan media massa hanya
terdorong euporia aji mungpung; mungpun tidak perlu SIUPP. Karena
73