Page 74 - PDF Compressor
P. 74

komersial,  lembaga  itu  tidak  layak  lagi  diberi  predikat  pers.
                     (Effendy,2001).
                            Pers  yang  idealis  adalah  pers  yang  benar-benar  melaksanakan
                     tugasnya  dengan  membenarkan  yang  benar  dan  menyalahkan  yang  salah.
                     Kendati kebenaran ataupun kesalahan itu bersifat relatif, setidaknya pers
                     selalu berpegang teguh pada aturan yang berlaku di lingkungan media
                     massa  itu  berada.  Hal  itu  mengandung  arti  bahwa  pers  yang  memiliki
                     idealisme  tidak  berarti  harus  menentang  pemerintah  untuk  membela
                     masyarakat.  Dalam  konteks  pemerintah  pada  posisi  yang  salah,
                     penentangan  dan  pembelaan  tersebut  dapat  dilakukan.  Namun,  jika
                     ternyata  pemerintah  yang  benar,  bukan  hal  yang  salah  jika  justru  pers
                     harus membela pemerintah dan meluruskan prasangka masyarakat.
                            Hal  itulah  yang  mendorong  sejumlah  pihak  menyimpulkan
                     bahwa pers adalah kekuasaan keempat (fourth estate) dalam suatu negara
                     yang  menganut  sistem  pemerintahan  pemisahan  kekuasaan  seperti
                     Amerika  atau  pembagian  kekuasaan,  seperti  Indonesia.  Pers  adalah
                     kekuasaan mandiri, setelah Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
                            Karena porsinya sebagai penguasa keempat inilah, sehingga pers
                     dimanipestasikan oleh banyak pihak, baik masyarakat maupun Legislatif,
                     Eksekutif, dan Yudikatif, dalam frame ketakutan. Oleh karena itu, banyak
                     penguasa kuat  pun mengakui lebih ketakutan berhadapan dengan pers
                     ketimbang  dengan  ‚hantu-hantu‛  lainnya.  Napoleon  Bonaparte
                     mengakui,  ia  lebih  takut  pada  empat  surat  kabar  yang  terbit  di  Paris
                     daripada seratus serdadu  dengan senapan bersangkur terhunus. Hal itu
                     terjadi  karena  daya  persuasi  pers  sangat  kuat  dan  pengaruhnya  sangat
                     besar terhadap masyarakat.
                            Ketakutan  masyarakat  dan  pemerintah  inilah  yang  kadang
                     dijadikan  batu  loncatan  bagi  oknum-oknum  insan  pers  untuk  bernakal
                     ria. Bahkan, kebebasan yang diberikan pemerintah menjelang dan pasca
                     kejatuhan  Soeharto  pun  diindikasikan  sebagai  manipestasi  ketakutan
                     pemerintah  terhadap  pers.  Peraturan  yang  berbau  kebebasan  yang
                     dilahirkan  pemerintah  selama  ini  adalah  respon  dari  tuntutan
                     menggeliatnya  pers.  Sayang,  peraturan  tersebut  tidak  diikuti  dengan
                     jaring-jaring  pengaman  yang dapat  menyelamatkan  nasib  pers  nasional
                     dari  kebablasan.  Pada  akhirnya,  kebijakan  pemerintah  yang  tadinya
                     dimaknai sebagai respon positif bagi perbaikan kehidupan per nasional,
                     malah menjadi ranjau-ranjau bunuh diri.
                            Inilah yang memunculkan simpulan nasib media massa nasional
                     masa ini berada di ujung tanduk. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
                     upaya pemberian kebebasan pada pers, akhirnya menjadi bumerang bagi
                     kehidupan media massa.
                                                        72
   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79