Page 136 - PDF Compressor
P. 136
”Gue bukan pusing, Nyet! Gue nggak terima aja,” Dinda
kini menyingkirkan potongan-potongan wortel itu dan meraih
bawang bombay. Walah, banjir air mata deh nih. ”Masa laki
gue lebih nonton perempuan nggak penting itu daripada
gue!”
Aku menahan diri supaya tidak tertawa. Seperti umumnya
semua perempuan di Indonesia saat ini, Dinda sedang jadi
korban Farah Quinn, the sexy chef on TV that drives every
man here crazy. Jadi ceritanya, Sabtu yang lalu si Panca semi-
semi mengacuhkan si monyet ini, glued to the TV begitu acara
masak-memasak Farah Quinn ditayangkan. Si Dinda sedang
ingin manja-manjaan sama lakinya karena sorenya Panca ha-
rus terbang ke Belanda selama seminggu untuk urusan kan-
tor.
”Lebih penting perempuan ini buat laki gue daripada gue?
134
Coba lo pikir, wajar nggak kayak begitu? Wajar nggak?”
Aku kembali menguap. Gila, nggak aku banget sebenarnya
sudah terbangun jam delapan pagi on a fucking Saturday
morning gara-gara dihujani telepon si monyet satu ini. Menye-
ret diri ke kamar mandi, setengah sadar saat memakai baju,
dan akhirnya memutuskan untuk mencuri-curi tidur lagi di
taksi saja daripada nyetir sendiri.
”I’m a fucking MILF, for God’s sake! Bagi laki-laki lain, gue
ini MILF!”
Buset, pede banget ini orang. Walaupun ada benarnya juga
hahaha.
”Dan laki gue memilih untuk melototin perempuan idabul
itu dibanding gue?!”
Idabul, FYI, adalah singkatan ”idaman bule”. Nggak perlu-
lah kudeskripsikan maksudnya apa, ya.
”Terus sekarang lo mau apa, Dinda?” kataku sambil mulai
Isi-antologi.indd 134 7/29/2011 2:15:21 PM