Page 138 - PDF Compressor
P. 138
”Mau cokelat nggak lo?” aku mengeluarkan sekotak Patchi
dari handbag dan menyodorkan ke Dinda.
”Tumben cokelat lo mahal, Nyet,” Dinda menyambut antu-
sias. ”Biasanya Silver Queen doang.”
”Sialan. Dibawain Panji tadi malam. Nggak kuat gue nga-
bisin sendirian.”
Dinda menoleh ke arahku. ”So what’s the story with you and
Panji now?”
”Topik bahasan pagi ini bukannya elo, Panca, dan FQ ya?”
elakku.
”Elo mau kita balik ke dapur dan gue mulai meracau lagi
sambil pegang pisau?”
”Makasih, gue nggak yakin nelepon 911 di sini responsnya
bakal cepat.”
136 Dinda tertawa.
Hujan akhirnya mengguyur Jakarta lagi. Aku memejamkan
mata, menikmati bau segar air menyentuh tanah.
”Udah berapa lama lo jalan sama dia? Tiga bulan? Empat
bulan?” ujar Dinda.
”Lima bulanan kali, ya?”
”Udah sejauh mana?”
Aku menoleh dan Dinda sedang tersenyum penuh arti ke
arahku.
”Gue capek deh, Din, sekarang setiap ketemu lo. Pasti
nanyanya itu mulu,” aku menghela napas.
”Lho, gue kan cuma nanya, Nyet. Biasa aja, kali.”
Aku mengabaikan dan kembali memejamkan mata.
”Hit the sack yet?”
Aku spontan melempar bantal ke arahnya, yang malah
disambut si monyet dengan tertawa terbahak-bahak.
Isi-antologi.indd 136 7/29/2011 2:15:21 PM