Page 164 - PDF Compressor
P. 164
mengumpulkan nyawa untuk bangun, Panji meminta sesuatu
yang spontan membuatku tertawa.
”Sebagai ucapan terima kasih karena gue udah bangunin
lo, mau melakukan sesuatu nggak buat gue, babe?”
”Apa? Jangan aneh-aneh deh lo.”
”BBM gue foto lo, ya.”
”Hah? Foto apa?”
”Foto lo sekarang, baru bangun ini.”
Aku tertawa. ”Ih, Panji apaan ah, nggak mau gue.”
”Ini permintaan serius, Sayang.”
”Iya, tapi buat apa?”
”Karena, babe, lo selalu menolak dan mengusir gue kalau
gue mau nginep, padahal kan gue cuma mau melihat seksinya
elo pas bangun tidur.”
Jago bener ya ini orang ngomongnya. ”Wow, that line still
162
works?” ledekku, padahal sejujurnya agak kena juga.
Panji tertawa, tapi kemudian berkata dengan nada seserius
mungkin, setengah memelas. ”Itu bukan line, babe. Please? Gue
janji nggak akan minta yang lain-lain itu yang selalu lo tolak
kalau lo ngasih gue yang ini.”
”Okay, fine,” aku menyerah. ”Tutup dulu teleponnya, ya.”
Mau tahu line dia yang mana yang membuatku tersenyum
sampai sekarang?
”Finally a picture I can jerk off to,” katanya di telepon lima
detik kemudian.
Yang jelas bukan yang itu. ”Panji, mulai nggak sopan deh,”
cetusku.
Dia kembali tertawa. ”Sorry, babe, pardon my sense of humor.”
”Nggak suka gue.”
”Iya, maaf ya, Sayang.” Panji menghela napas. ”Karena yang
sebenarnya ingin gue bilang adalah ini...”
Isi-antologi.indd 162 7/29/2011 2:15:22 PM