Page 161 - PDF Compressor
P. 161
bercampur biru-oranye-hitam gitu. It’s a perfect purplish
sunrise today.”
Gue spontan tersenyum melihat excited-nya dia dengan ka-
meranya itu. She’s like a kid with a candy.
”Paling cuma lima menit nih, Rul, bisa dapet begini,” kata-
nya lagi, masih sibuk menjepret. ”See, now it’s gone. Dan begi-
tu matahari naik, kita harus balik ke reality: rapat breng-sek
itu sampai malam.”
Gue tertawa. ”Tapi paling nggak rapat brengsek ini bisa
bikin kita berangkat ke Bali dan lo bisa curi-curi motret,
kan?”
Dia ikut tertawa. ”True.”
Fotografi, sebenarnya menurut gue ya, nggak Keara banget.
Fotografi itu harusnya identik dengan orang yang tahan
panas-panasan, bahkan jalan kaki menyusuri daerah-daerah 159
terpencil demi mencari objek foto. Bukan perempuan yang
jalan kaki sejengkal ke Pacific Place buat makan siang aja
ngeluhnya nggak ketulungan. Panas, takut item, malas ke-
ringatan, takut sepatunya rusak. Dia itu cocoknya bukan
photo-hunting, tapi shoes-hunting.
”Key, kenapa lo suka banget fotografi?” gue akhirnya nggak
tahan buat nggak nanya. ”Gue ingat lo memang pernah cerita
sama gue dulu tentang pameran WorldPress Photo yang bikin
lo pengen motret itu, tapi gue masih belum ngerti kenapa lo
suka fotografi. Nggak lo banget soalnya.”
Dia kembali melempar senyumnya itu. ”Jadi maksud lo
perempuan kayak gue harusnya suka apa, Ruly?”
”Apa ya? I don’t know. Shopping? Clubbing?”
”Tuh kan, another stereotyping!” dia tertawa. ”You don’t
know me at all, do you?”
Gue ikut tertawa dan mengangkat bahu. Sejujurnya, gue
Isi-antologi.indd 159 7/29/2011 2:15:22 PM