Page 157 - PDF Compressor
P. 157
Dia membawa gue ke Le Seminyak di Pacific Place, gue
tahu dia tergila-gila satu menu dessert di situ: pisang bakar
santan, yang selalu dia makan sebagai appetizer, dan seperti
biasa gue dan dia ngobrol tentang apa saja sampai dia tiba-
tiba meletakkan sendok garpunya dan menatap gue.
”Ris, pengen nasi Wardani.”
Gue tertawa. ”Kan nggak ada di menu.”
”Ke Bali yuk.”
Buset, gue kaget. Ini anak ngajak ke Bali kayak ngajak ke
Ancol.
”Ayo dong, Ris, temenin gue, mau ya?”
”Ini serius?”
”Ya iyalah, serius, Risjad. Gue lagi pengen banget nasi
Wardani nih, mau ya?”
Gue tertawa. ”Lo yakin nggak hamil? Siang-siang bolong 155
gini ngidam Wardani.”
”Enak aja, nggak ya! Cuma lagi pengen banget aja, rese
lo.”
”Maksud gue, kalau lo hamil, sana suruh yang menghamili
dong yang nganter, masa gue.”
”Risjad, udah deh, mau apa nggak? Lo tega gue berangkat
sendiri?” ancamnya.
”Lo serius mau berangkat ke Bali?”
”Iya, Risjad, nanti malam aja kita last flight pulang kantor,
ambil baju aja bentar ke apartemen terus langsung ke banda-
ra. Mau ya?”
Mau? Mau banget lah!
Gue tidak pernah menghitung berapa perempuan yang su-
dah gue tiduri, tapi gue menghitung dan ingat berapa kali dia
tersenyum karena gue, di dua setengah hari kami bersama di
Bali itu. Tidak ada apa-apa yang terjadi di antara gue dan dia
Isi-antologi.indd 155 7/29/2011 2:15:22 PM