Page 153 - PDF Compressor
P. 153
punya di kota itu. Saat kami sudah tiba di JFK, Nate mena-
tap mataku dan bertanya khawatir, ”Are you really sure you’re
okay with flying right now?” Pertanyaan paling logis yang akan
ditanyakan semua orang yang tahu ayahku meninggal karena
kecelakaan pesawat.
But you see, tidak sedikit pun rasa takut terbang yang meng-
hinggapi kepalaku, not even that moment. If anything, aku
malah jadi kecanduan terbang. Pesawat telah kuanggap rumah
keduaku untuk alasan sederhana: di situlah tempat terakhir
ayahku mengembuskan napas. Setiap aku menaiki tangga pesa-
wat, membalas senyum pramugari, mengambil tempat duduk,
mengenakan safety belt, menghidupkan New York atau
London Philharmonic Orchestra di iPod, dan memejamkan
mata, aku merasa dekat banget dengan Ayah. Jika children
book section di Aksara adalah tempatku melarikan diri dari 151
segala sesuatu yang evil di dunia ini, pesawat adalah tempatku
merasa bisa kembali ke pelukan Ayah.
So here I am, flying again. Flying is something, you know.
Menghabiskan berjam-jam terduduk kaku di kursi yang sama
sekali tidak nyaman—jabatanku di kantor belum pantas un-
tuk dibayari terbang first class—di sebelah orang yang sama
sekali tidak kita kenal. Aku pernah harus setengah mati me-
nahan mual karena yang duduk di sebelahku bapak-bapak
dengan parfum menyengat yang nggak banget. Dua jam yang
amat sangat menyiksa dari Jakarta ke Banjarmasin. Di pener-
bangan yang satu lagi, Jakarta-Pekanbaru kalau tidak salah,
bapak-bapak di sebelahku justru lebih menyebalkan, agak-
agak gatel dan berusaha flirting-flirting nggak jelas. Cara paling
gampang menghadapi model beginian memang dengan pura-
pura tidur, tapi gimana caranya secara si oom-oom di sebelah-
ku itu sengaja nyenggol-nyenggol terus.
Isi-antologi.indd 151 7/29/2011 2:15:22 PM