Page 154 - PDF Compressor
P. 154
The flight I’m on now is a whole different story though. Satu
jam empat puluh lima menit Jakarta-Bali. Memang untuk
kerja selama seminggu penuh, but still, for me Bali is Bali. Aku
juga duduk di kursi favoritku, 5C, aisle, supaya bisa menyelon-
jorkan tungkai kakiku yang panjang ini. Yang duduk di sebe-
lahku juga bukan laki-laki gatel berbau aneh. Perempuan
mana pun akan sangat senang menduduki kursiku sekarang,
mau itu perempuan muda dan bahkan ibu-ibu yang sedang
heboh cari menantu.
Yang sedang tertidur pulas di sebelahku adalah Ruly. Heran
ini orang masih ganteng aja walau dengan mulut setengah
menganga dan suara dengkur halus. I know I’m a bit biased
but it’s true.
So there’s the trouble, my friend. The fact that I’m biased. Ha-
rus ada cara melupakan fakta bahwa dia adalah satu-satunya
152
laki-laki yang kuinginkan yang tidak bisa kutaklukkan, dan
menganggap dia sekadar salah satu nerd yang dikarantina di
Bali selama seminggu untuk disiksa kerja mati-matian demi
bank terdahsyat sejagat raya ini. Tapi kenapa yang menggema
berulang-ulang di kepalaku adalah yang pernah kuucapkan ke
Dinda dulu.
”I’m done fucking men, darl. I want to marry this one.”
Kampret. Harusnya aku mengiyakan saja tawaran Panji
untuk menemaniku di sini.
Hidup ini memang lebih simpel saat aku cuma anak ber-
usia sepuluh tahun yang bisa meyakinkan diri sendiri bahwa
semuanya di dunia ini baik-baik saja karena aku ada di sini,
di pangkuan Ayah.
Now? I think I need a glass of apple martini.
* * *
Isi-antologi.indd 152 7/29/2011 2:15:22 PM