Page 159 - PDF Compressor
P. 159
ga dia tetap waras dengan pekerjaan kami sekarang. Dan gue?
Gue bisa gila kalau nggak bisa menyempatkan jogging setiap
hari seperti hari ini, subuh-subuh ini, sebelum meeting dan
diskusi panjang dimulai lagi jam delapan pagi nanti. Cuma
gue, pasir, matahari terbit, dan suara ombak.
Bodoh banget memang gue ya lama-lama, nonstop menge-
luh tentang kantor ini, tapi tetap aja kerja di sini sepenuh
hati. Yeah, sepenuh hati my ass. Keara selalu meledek bahwa
gue itu natural born workaholic. ”Orang normal itu ya, Rul,
kayak gue. Lembur pas perlu doang, itu juga sebisa mungkin
ngabur. Nah elo, yang tiap hari pulangnya sama dengan sat-
pam yang ngunci gedung gitu, yang kalau pulang jam tujuh
malam aja serasa izin pulang cepat, mau bilang elo itu bukan
workaholic?” Gue cuma bisa ketawa-ketawa nggak jelas aja
kalau dia mulai ngomong begitu. Ketawa-ketawa pahit mak- 157
sudnya. What am I doing to my life ya sebenarnya.
Di departemen kehidupan yang ini, this whole work-life
balance shit, gue jujur mengagumi cara Keara memandang hi-
dup. Cara dia bisa menertawakan segalanya dengan lepas.
Bahwa dia selalu bisa memperlakukan pekerjaan sebagai pengi-
si waktu di antara weekend. Bahwa dia selalu bisa menempat-
kan dirinya sebagai Keara Tedjasukmana. Gue nggak ingat
kapan terakhir kali gue booking meja di restoran dengan me-
nyebutkan nama pemberian orangtua gue. Adanya selalu Ruly
BorderBank. Bukan Ruly Walantaga.
Aneh ya, lama-lama kita bisa tanpa sadar membiarkan iden-
titas pribadi kita dibentuk perusahaan. Namun buat gue yang
lebih aneh lagi adalah bagaimana Keara selalu punya cara un-
tuk tidak membiarkan siapa dirinya ”disetir” oleh kantor ini.
Jadi sudah bisa menebak kan siapa yang gue temukan se-
dang tiduran di kursi pantai saat gue sedang jogging menyu-
Isi-antologi.indd 157 7/29/2011 2:15:22 PM