Page 178 - PDF Compressor
P. 178
ugly shoes.” Hahaha, udah rusak otak gue dekat-dekat dengan
anak ini belakangan ini sampai bisa mengingat kata-kata dah-
syatnya itu. Untung ngomongnya nggak sambil melirik sepatu
gue.
Tapi yang gue lihat hari ini bukan Keara yang itu. Ini
Keara yang hanya mengenakan celana pendek, kakinya terlihat
makin jenjang seperti ini, rambut panjangnya dikuncir dan
kedua matanya ditutupi sunglasses, alas kaki yang dia pilih
sekadar sandal dan bukannya sepatunya yang biasanya setinggi
Monas—kalau dia tahu gue ngomong begini, gue pasti dihina
karena metafora gue cuma Monas doang. Gue bisa kebayang
dia tersenyum dan nyeletuk, ”Monas ya, Ruly? Kenapa nggak
menara BTS aja sekalian?” Yang bersama gue hari ini adalah
Keara on holiday, both from her work and her personality that
I used to know. Or I thought I knew. Yang mendatangi setiap
176
kios di Pasar Ubud dengan kameranya, mengobrol ramah de-
ngan si penjual, lima sampai sepuluh menit, membeli satu
atau dua item—memangnya perempuan satu ini masih mau,
gitu beli barang di pasar tradisional non-branded begini?—
kemudian memotret si penjual. Begitu terus di setiap toko. Di
satu toko lukisan, mendamnya malah lama banget sampai
setengah jam, ngobrol seru tentang lukisannya siapa yang
melukis, terus para pelukis itu sekarang hidupnya gimana,
sampai akhirnya dia membeli satu lukisan abstrak bergambar
segerombolan ikan di laut dan meminta gue memotret dia
dan si penjual. Dan betul sekali, saudara-saudara, gue lagi
dong yang menggotong lukisan itu ke mana-mana sampai aca-
ra foto-memfoto selesai. Bertambah lagi job desc gue jadi por-
tir. Diantar dengan senyuman mautnya itu sambil merangkul
tangan gue sesaat dan berkata, ”Thanks ya, Ruly.”
Dan senyuman itu juga yang tadi dia lemparkan ke gue
Isi-antologi.indd 176 7/29/2011 2:15:23 PM