Page 213 - PDF Compressor
P. 213
”Kenapa? Nggak bagus, ya? Aneh, ya?” cerocosnya cang-
gung, menatapku penasaran.
”Elo pasti besar kepala kalau gue ngomong ini. But you look
mesmerizingly beautiful.”
Si sableng itu langsung tersenyum lebar. ”Oh why, but I am,
darling.”
Aku tertawa. ”Bener, kan? Nyesel gue ngomongnya.”
”Gue seneng banget deh, Nyet kalau lo lagi ngomong jujur
gini.”
”Taeeeeee. Change of subject, please,” seruku.
Dia tertawa-tawa. ”Bantuin gue bukanya nih.”
”Nggak jadi ke Biyan lagi, kan? Gue langsung pulang ya,
mau tidur lagi.”
”Hahaha, ngambek dia. Tetap jadilah, Cong. Percuma gue
udah megang kartu kredit Panca gini.” 211
Aku geleng-geleng kepala. ”For the sake of your too nice of
a husband, gue doakan lo cepat insaf ya, Din.” Mataku masih
mengantuk dan aku tidak bisa berhenti menguap dari tadi.
”Lo masih ada kopi kan, Din? Gila ngantuknya banget nih.”
”Ada, kita ke dapur aja yuk. Tidur jam berapa lo tadi ma-
lam?”
”Lupa. Satu atau dua kali, ya?” aku mengikuti langkahnya.
”Panji?” tanyanya dengan nada ’did Panji do this to you?’
”Nggak ngapa-ngapain. Kami cuma nonton The A-Team di
Blitz, terus langsung pulang. Damn, that Bradley Cooper guy
is hot,” aku menuangkan secangkir kopi lagi dari coffee
maker.
”Ehm, penting banget ya penjelasan ’nggak ngapa-ngapain’-
nya itu?” Dinda tersenyum simpul.
Aku tertawa. ”Sinting lo ya? Jadi akan terus begini nih tiap
gue ngomong ini?”
Isi-antologi.indd 211 7/29/2011 2:15:26 PM