Page 209 - PDF Compressor
P. 209
”You have to stop doing this to yourself, you know,” Dinda
menyodorkan secangkir kopi ke arahku, yang kusambut de-
ngan menghela napas.
”Udah deh, males gue tahu kalau tiap ketemu lo, lo selalu
ngomel melulu tentang ini,” kataku.
”Ini bukan ngomel, Keara.” Dinda duduk di depanku. ”Ini
cuma gue, sebagai sahabat lo, mencoba menyuntikkan sedikit
akal sehat ke dalam kepala lo itu.”
”Eh, sialan, maksud lo apa? Gue nggak punya akal sehat,
gitu?”
Dinda tertawa. ”Emosian banget sekarang lo ya, Nyet.
PMS?”
Aku jadi ikut tertawa. ”Taeee. Yang ada gue emosi karena
lo bangunin sepagi ini Sabtu-Sabtu begini.”
Jam delapan pagi tadi aku sudah diteror belasan telepon 207
dari si Dinda ini, minta ditemani memilih gaun yang harus
dikenakannya nanti malam di acara annual charity dinner-nya
keluarga besar Wardhana, yang kujawab dengan, ”Ribet ba-
nget kayaknya hidup lo menikah dengan keluarga model begi-
ni ya, Nyet.” Yang, tentu, dia jawab dengan jumawa, ”With
great money comes great responsibility.” Kampret.
”Jadi kita mau ke Biyan jam berapa?” kataku, agak segeran
setelah menghirup kopi hasil brewing coffee machine baru si
Dinda.
”Jam sebelasan aja kali, ya.”
”Craaaaap, kalau gitu ngapain lo nyuruh gue datang ke sini
jam sembilan pagi begini, Nyeeeet?” repetku.
Dinda kembali tertawa. Ngerjain banget memang anak ini,
ya. ”Hehe, jangan langsung mutung gitu dong tampang lo.
Maksud gue, sebenarnya gue udah belanja beberapa, gue mau
Isi-antologi.indd 207 7/29/2011 2:15:25 PM