Page 264 - PDF Compressor
P. 264
mengobrol sampai jam sepuluh malam, sampai tempat itu tu-
tup. Gue menelepon Karin, ngajak jalan, lima menit setelah
taksi gue meninggalkan pemandangan si Panji bangsat itu dan
Keara gue peluk-pelukan di bandara, tiga ratusan detik sete-
lah napas gue rasanya sesak dan satu-satunya yang terpikir
untuk gue lakukan saat itu—selain mengingat-ingat apakah
gue punya sejarah asma waktu kecil—adalah mendengarkan
suara renyah Karin.
”Gue cuma perlu memastikan bahwa lo benar-benar manu-
sia dan bukan malaikat yang ternyata ikut numpang pesawat
tadi untuk turun ke bumi,” kata gue waktu itu.
Agak-agak corny memang, tapi Karin tetap tertawa. Gue
dan dia mengobrol selama dua-tiga menit sampai gue meng-
ajak dia ngopi bareng dan dia menjawab ya.
Kencan kedua, gue menyerahkan pilihan tempatnya pada
262
Karin, dan dia memilih Food Hall Grand Indonesia.
”Hah? Itu bukannya supermarket? Kita mau nongkrong
bareng sambil makan kacang dekat kasir gitu?”
Gue suka suara tawanya Karin di telepon. ”Bukan, Harris.
Di Food Hall itu lo bisa belanja daging steak, sayur, whatever,
dan mereka masakin buat lo. Sekalian gue mau belanja buah,
nggak pa-pa, ya?”
Gue mengiyakan, dan malam itu gue dan dia memilih da-
ging, memilih saus, menunggu dua puluhan menit dan si koki
mengantarkan pesanan ke meja kami. Gue rasanya nggak
salah kalau melabel itu waktu terlama yang pernah gue habis-
kan di supermarket, hampir dua jam gue dan Karin duduk di
kursi plastik hijau—sama sekali bukan suasana restoran tem-
pat biasanya gue meluncurkan jurus-jurus foreplay gue—me-
nikmati potongan demi potongan steak yang ternyata lebih
enak daripada steak di Radio Dalam yang diagung-agungkan
Isi-antologi.indd 262 7/29/2011 2:15:29 PM