Page 269 - PDF Compressor
P. 269
duduk di sebelahku, matanya menatap lekat-lekat pintu di
ujung ruangan. ”Lo dengar kabarnya tadi gimana, Rul?”
”Gue masih di kantor tadi, terus ada telepon dari rumah
sakit ini, katanya dapat nomor telepon gue dari call history-
nya Denise, gue orang terakhir yang dia telepon,” ujar Ruly.
”Gue langsung ngojek aja tadi ke sini karena gue tahu kalau
pakai mobil bakal macet banget. Pas gue nyampe sini, Denise
udah dirawat di dalam.”
”Si Kemal juga belum ke sini?” kataku menyebut nama sua-
mi Denise.
”Dia masih di Kalimantan ternyata, ada urusan kantor dari
kemarin, tadi gue telepon. Besok mau balik dengan pesawat
pertama,” Ruly kemudian menoleh dan menatap kedua mata-
ku. ”Gue belum berani menelepon ortunya Denise di Singa-
pura, Key. Gue nggak tahu mau ngomong gimana.” 267
”Mau gue yang nelepon?” tawarku.
Dia mengangguk. ”Tolong ya.”
Jadi aku meraih BlackBerry-ku di dalam handbag, mencari
nama ibu Denise di contacts, dan menghabiskan lima menit
berbicara berganti-gantian dengan ayah dan ibu Denise di
telepon, berusaha setenang mungkin walaupun ibunya sudah
jejeritan di ujung telepon sana, dan sekuat mungkin menahan
air mata saat akhirnya pembicaraan di telepon kami tutup.
Nobody likes to give and receive bad news.
”Gimana?” Ruly menatapku.
”Panik banget. Semoga tadi suara gue cukup calm ya, Rul.
Malam ini juga mau langsung cari pesawat apa pun yang ter-
bang dari Changi ke sini,” aku kembali duduk di sebelah Ruly.
”Are you okay?”
Aku baru menyadari kedua mata Ruly memerah, pembawa-
annya gelisah, dan peluh mengalir di dahinya walau AC ruang-
Isi-antologi.indd 267 7/29/2011 2:15:29 PM