Page 275 - PDF Compressor
P. 275
buat gue akhirnya kembali melirik ke kiri, ulu hati gue rasa-
nya ditusuk melihat Keara masih menangis. Pipinya masih
basah.
”Key…,” cuma satu syllabel ini saja yang sanggup gue ucap-
kan, lalu gue menelan ludah, menunggu tanggapan dari dia.
Tapi Keara cuma diam, tangisnya masih tidak bersuara,
tapi kali ini bahunya naik-turun terisak.
Shit, Key, jangan bilang lo sedang menangisi si Ruly seka-
rang. Ini sudah cukup. Gue nggak bisa melihat lo terus begini
lagi.
Gue akhirnya menguatkan dan memberanikan diri untuk
mengatakan apa yang ingin gue katakan.
”Kalau lo memang sayang sama Ruly, kenapa lo nggak per-
nah bilang sama dia dari dulu?”
Ini adalah kalimat tersulit yang pernah keluar dari mulut 273
gue. Bahkan lebih sulit daripada menjawab pertanyaan nyokap
gue dulu zaman kelas enam SD waktu menemukan majalah
Playboy di bawah kasur gue.
Lo menatap gue, Key, tatapan lo menusuk penuh marah.
”Lo nggak perlu nanya-nanya gue itu.” Lo tidak membentak
gue, tapi suara lo yang pelan bergetar.
Gue memutuskan untuk menepikan mobil, pembicaraan ini
terlalu berbahaya untuk dilakukan sambil menyetir. Gue mem-
balas tatapan lo dan berusaha berujar setenang mungkin,
”Tapi gue nggak bisa melihat lo begini terus.”
”Begini gimana? Udah deh, Ris, lo nggak usah sok peduli
sama gue.”
Entah dari mana keberanian gue untuk membalas ucapan
lo itu dengan kalimat setegas ini. ”Begini menangis, Key, dan
gue memang peduli sama lo. Gue nggak bisa melihat lo harus
nangis begini cuma gara-gara si Ruly.”
Isi-antologi.indd 273 7/29/2011 2:15:30 PM