Page 327 - PDF Compressor
P. 327
Keara cuma tersenyum melambai ke gue, dan berlalu dengan
Ruly. Senyum yang diterjemahkan oleh otak gue yang udah
nggak waras lagi ini dengan, ”Isep aja terus, Ris, sampai lo
mati karena kanker paru-paru atau batuk-batuk keselek asap
dan gue nggak usah lagi berurusan dengan lo.”
Mungkin ada yang kenal psikiater atau psikolog yang cantik
dan seksi dan bisa gue bang sekalian untuk mengembalikan
otak gue ke posisi semula sebelum gue bertemu Keara?
Jadi setelah sebulan tetap ngebul dan belum mati keselek
asap juga, tiga minggu gue di Sydney untuk some work shit
dan dengan senang hati gue menyambut Karin yang menyusul
pada minggu ketiga, gue pulang ke Jakarta disambut berita
duka bahwa Ruly masuk jurang.
Yeah, itu ngarepnya gue, ya. Yang ada malah berita duka
buat gue: Keara-nya gue akhirnya pacaran dengan si Ruly 325
lucky bastard kampung itu. Jadi setelah menghabiskan Sabtu
dan Minggu itu menyimpan semua pisau dan silet dan tali
tambang dan pistol jauh-jauh dan menghindari dari godaan
syaitan yang terkutuk untuk bunuh diri saja, or even better,
membunuh Ruly, gue bertemu Keara di Starbucks lobi kantor
Senin paginya, tidak sengaja. Gue sudah duduk di situ
sendirian untuk sarapan (yeah, gue udah berhenti makan
bubur ayam keparat itu karena cuma mengingatkan pada
ritual mesra yang nggak mungkin terulang lagi), dan dia
melangkah masuk, cantik luar biasa seperti biasanya, dia
tersenyum ke gue, tapi pagi itu ada yang berbeda dari senyum
itu. Cara dia dengan cerianya memesan minuman ke barista,
senyumnya waktu meminta agar chocolate croissant-nya
dipanaskan, hati gue rasanya sedang digilas truk waktu gue
sadar itu glowing perempuan yang sedang jatuh cinta. Dan
bukan dengan gue.
Isi-antologi.indd 325 7/29/2011 2:15:33 PM