Page 75 - PDF Compressor
P. 75
tahu. Tentang musisi favoritnya (yeah, if you can call that
musician). Tentang film Vanilla Sky yang sama-sama tidak
kami mengerti. Tentang siomay paling enak di Jakarta. Ten-
tang re-make The Omen yang sama sekali nggak ada seram-se-
ramnya dibandingkan yang asli yang membuatku tidak tidur
dua hari. Tentang An Incovenient Truth-nya Al Gore.
My photographic memory is scaring the hell out of me.
Bahwa aku bisa mengingat aku dan dia mengobrol tentang
apa pun kecuali penyebabku mabuk semabuk-mabuknya ma-
lam itu.
Ketika akhirnya dia kembali menanyakan apakah aku baik-
baik saja, bangkit, dan berjalan menuju pintu, dia mengucap-
kan kata-kata yang tidak akan pernah kulupakan sampai ka-
pan pun.
Ruly berhenti di depan pintu, menatapku, menyentuh ke- 73
palaku dengan lembut, dan tersenyum.
”Key?”
”Ya?”
”Kalau lain kali elo perlu banget motret, karena sebab apa
pun, pagi, subuh, sore, tengah malam, elo bilang gue, ya? Gue
siap menemani elo.”
Aku terdiam.
Sama seperti terdiamnya aku detik ini, di tengah-tengah
keriuhan Zirca dini hari ini. Karena akhirnya aku tahu kena-
pa aku mencintai kamu jungkir balik, Ruly Walantaga. Pagi
hari di Jakarta dua tahun sepuluh bulan yang lalu itu, kamu
bisa saja meninggalkan aku di apartemen itu sendiri, sama
seperti kamu mengantar Harris pulang ke rumahnya. Kamu
dan self-righteous kealimanmu itu bisa saja menceramahi aku
sepagian itu tentang betapa hancurnya kelakuanku waktu itu,
Rul.
Isi-antologi.indd 73 7/29/2011 2:15:17 PM