Page 79 - ummi test
P. 79

melarat. Tapi kali ini aku
           benar-benar merasa tidak
           berguna menjadi kepala
           keluarga. Lihatlah, tiga
           jam lebih aku parkir
           di persimpangan
           kota, tidak ada
           satu orang pun
           yang melambaikan
           tangannya, menaiki
           becakku. Percuma,
           meski becak yang aku
           kayuh mondar-mandir
           mencari penumpang,
           tetap tidak ada satu pun
           penumpang yang mau
           menaikinya. Rombongan
           pengantar jamaah haji
           itu menghalangi jalan,
           atau mungkin menghalangi
           jalan rezekiku pula.
              “Maafkan, Bapak,
           Nak,” aku bergumam
           sedih, khawatir tidak dapat
           memenuhi permintaan putri
           sulungku. Khawatir hari ini
           tidak ada penumpang.
              Matahari mulai condong
           ke barat. Mobil-mobil
           rombongan pengantar
           jamaah haji satu per satu
           mulai mengurangi kepadatan   teman Alya, tidak seharusnya   becak yang menurut teman
           jalan. Akhirnya ada yang mau   dia menghina putriku,   Alya tidak akan pernah bisa
           naik becak, dua penumpang.   mengatakan Alya hanya   dibanggakan.
           Tapi jarak yang mereka     anak miskin yang tak mampu   “Alya sayang Bapak. Alya
           tuju terlalu dekat, sehingga   membeli kue brownies merek   tidak suka jika ada yang
           bayarannya pun sedikit, kalau   Ananda. Alya tidak bohong   menghina Bapak,” sorot
           ditotal, sejumlah enam ribu   ketika ia mengatakan tidak   mata Alya tajam, seperti
           rupiah. Enam ribu rupiah?   sengaja menjatuhkan sekotak   menyimpan benci. “Belikan
           Bahkan jumlah itu tidak    brownies milik temannya.   Alya sekotak Brownies Ananda
           sampai seperempat dari harga   Anak sulungku itu sensitif,   ya, Pak, agar teman Alya
           sekotak brownies Ananda.   amat sangat sensitif jika   tidak menghina Bapak lagi.
              Aku mendesah. “Tuhan,   menyangkut sesuatu yang   Alya janji, Alya akan lebih
           aku tidak akan pulang ke   tidak disukainya. Aku tahu   giat membantu Ibu berjualan.
           rumah kecuali  tanganku    anakku. Aku mengenalnya   Dan kalau Alya sudah lebih
           telah menenteng sekotak    dengan baik. Bukan karena   besar, Alya berjanji akan
           brownies,” tekadku         dihina miskin ia menangis   mendapatkan uang dengan
           membulat. Aku kembali      tersedu-sedu. Ada yang    keringat Alya sendiri.” Air
           mengayuh becak, mencari-   lebih menyakiti hatinya   mata Alya telah pudar, aku
           cari orang yang mau menaiki   dari sekadar hinaan itu.   melihat tekad kuat dalam diri
           becak milikku.             Aku. Akulah di balik alasan   putriku.
              Wajah Alya yang menangis   kenapa Alya menangis.     Salihah memeluk Alya, dia
           selalu terbayang-bayang    Temannya membawa-bawa     menangis haru mendengar
           di benakku. Sungguh tega   pekerjaanku sebagai tukang   kalimat putri sulung kami.




                                                                                  O K T O B E R  2017

     Ummi-10 Kat-4, Hal 49-88_OK.indd   63                                           9/22/2017   11:42:56 PM
   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84