Page 24 - dear-dylan
P. 24

“Ihhh...”  Aku  meleletkan  lidah.  “Gue  kan  baru  pacar  dia,  belum  jadi  istri,  nggak  berhak
               minta uang belanja!”
                    Grace nyengir. “Ya deh, ya deh, gue nggak akan membuat lo terlihat matre di depan Dylan.
               Nah, gimana kalau nanti pulang sekolah kita ke butik temennya Kak Julia? Gue kenal sama yang
               punya,  jadi  bisa  minta  special  price.  Plus,  baju-baju  di  sana  modelnya  ajibb  banget!”  Dia
               berpromosi. Aku nggak kaget mendengar ceritanya. Koneksi Kak Julia, kakak Grace, memang
               mantap-mantap! Ada yang kerja di stasiun TV, pemilik EO, punya bistro sushi (satu-satunya bistro
               yang  menghasilkan  sushi  yang  cocok  dengan  perutku),  dan  sekarang  punya  butik!  Hebatnya,
               mereka juga suka ngasih  privilege gitu ke Grace, jadi  anak tengil  itu sering dapat hal-hal bagus
               macam tiket konser gratis, voucher makan sushi, atau semacamnya.
                    Yah, aku juga selalu kecipratan seneng sih, hehe...
                    Aku nyaris mengangguk waktu teringat karya tulis tentang kebebasan, ehh... yang bertema
               bebas itu. Kemungkinan aku menyelesaikan karya tulisku itu hanya dalam waktu satu hari sama
               besarnya dengan kemungkinan Indonesia melunasi utangnya pada World Bank, yang berarti amat
               sangat minim! Jelas aku harus mulai menyicil mengerjakan karya tulis itu mulai hari ini, huhhhh...
                    “Lusa aja deh Grace perginya.”
                    “Lho? Bukannya makin lama ntar lo malah makin bingung mau pakai baju apa? Udaaahh,
               hari ini aja perginya! Gue juga kepingin lihat-lihat baju di sana!”
                    “Gue juga maunya nanti, tapi gimana dong kartulnya ini?”
                    Grace menghela napas putus asa. “Iya ya... gara-gara Pak Rudi nih! Merampas kesenangan
               murid-murid aja!”
                    “He-eh,”  aku  mengiyakan.  “Gue  nggak  mungkin  bisa  nyelesein  dalam  satu  hari,  jadi  kita
               perginya habis kartul ini dikumpulin aja, ya?”
                    “Iya deh. Aduuhh, padahal tadinya gue mau pura-pura kartul ini cuma mimpi buruk!”
                    Aku menggumam nggak jelas. Lo nggak usah repot berpura-pura Grace, kartul ini memang
               mimpi buruk. Hanya saja, ini mimpi buruk yang jadi kenyataan.

                                                          * * *

               Aku  mendekatkan  wajahku  ke  cermin,  dan  bergidik  ngeri  begitu  melihat  calon  jerawat  yang
               menampakkan diri tepat di ujung hidungku!
                    “Ihhh... kok bisa-bisanya ada jerawat nongol sekarang sih??” Aku memandangi wajahku dari
               segala sisi, dan ternyata calon jerawat itu bukannya halusinasi atau apa. Dia benar-benar nyata!
                    Padahal sembilan hari lagi aku harus menampakkan diri di MTV Awards! Apa jerawat ini
               dan segala bopeng laknatnya bakal hilang dalam waktu sesingkat itu? Duuhh, kenapa sih cuma
               Susan Storm saja yang bisa menghilangkan jerawatnya dalam dua detik tanpa perlu memakai obat
               apa pun? Kenapa nggak tiap cewek dikaruniai kemampuan kayak gitu? Itu kan kemampuan yang
               sangat berguna, dibanding... dibanding apa, ya?
                    Yah, pokoknya itu kemampuan yang sangat berguna! Apalagi untuk saat-saat kritis begini!
                    Aku mengomel panjang-pendek, lalu melirik jam di LCD HP-ku.
                    Hah?! Pukul 23.09???
                    Dan  aku  belum menulis apa-apa untuk karya tulisku!  Padahal besok  tugas jelek  itu harus
               dikumpulkan!
                    Hah,  aku  memang  nggak  bisa  mengorganisir  apa  pun  dengan  baik!  Plus  nggak  punya
               keyakinan  yang  teguh!  Niatnya  kemarin  pulang  sekolah  aku  mau  menyicil  karya  tulis  itu  (aku
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29