Page 26 - dear-dylan
P. 26

Lebih  baik  tak  usah  minta  saran  Dylan  kalau  untuk  hal  seperti  ini.  Dia  malah  membuat
               kepalaku makin berdengung, seolah ada koloni tawon membangun sarang di dalamnya.
                    Aku duduk di depan laptop sambil menatap hampa monitornya selama kira-kira lima menit,
               lalu memutuskan menyerah.  Sadar kalau aku bakal  begadang  semalaman, aku  memutuskan ke
               ruang  makan  dan  membuat  kopi.  Atau  kalau  aku  berutung,  Caramel  Latte  Starbucks  botolan
               yang dibeli Daddy kemarin mungkin masih ada di kulkas.
                    Begitu  pintu  kulkas  terbuka,  aku  melihat  Caramel Latte  Starbucks  botolan  itu.  Tersisa  di
               dalam botolnya untuk porsi satu kali minum! Ha, benar-benar menguntungkan! Kutenggak saja
               kopi itu langsung dari botolnya.
                    Sambil menjilati bibir yang masih berasa Caramel Latte, aku jalan ke arah ruang keluarga.
               Apa nonton TV dulu ya? Balik ke kamar juga pasti bengong lagi di depan laptop... Dan siapa tahu
               acara TV ada yang menginspirasi untuk bikin kartu litu? Hmm... cukup masuk akal.
                    Aku lalu membenamkan diri di sofa besar ruang keluarga, dan menyalakan TV. Ah, acara
               berita. Bagus, nonton ini saja, pasti banyak topik yang bisa disorot.
                    Berita pertama yang kulihat tentang anak yang membunuh bapaknya di sebuah desa di Jawa
               Tengah, karena merasa sawah yang diberikan pada saudaranya lebih luas daripada yang diberikan
               padanya.
                    Hiii, ini sih nggak cocok jadi tema karya tulis!
                    Berita kedua, tentang peluncuran album Ungu. Cukup ringan, harusnya bisa kutulis, tapi aku
               harus  menyorot  pada  poin  apa?  Cuma  diluncurkannya  album  baru  doang,  itu  kan  hal  yang
               standar. Biarpun pusing, aku kepingin karya tulisku nanti temanya nggak STD, alias harus cukup
               istimewa.
                    Haha, udah dekat deadline begini, aku masih saja banyak maunya.
                    Berita ketiga, tentang imbauan pemerintah supaya warga beralih dari menggunakan kompor
               minyak tanah menjadi kompor gas LPG. Untuk itu, bahkan dibagikan beberapa kompor gas dan
               tabungnya sekalian di sebuah kecamatan.
                    Hmmm... aku jadi bertanya-tanya kenapa pemerintah getol banget dalam hal yang satu ini,
               ya?
                    Maksudku, apa sih salahnya menggunakan kompor minyak tanah? Paling juga pantat wajan
               jadi  hitam  penuh  jelaga  dan  butuh  energi  ekstra  saat  mencucinya.  Apa  pantat  wajan  yang
               berjelaga  turut  berkontribusi  dalam  pencemaran  udara  di  Jakarta,  sampai-sampai  pemerintah
               kekeuh mengimbau masyarakat untuk pakai kompor gas?
                    Mendadak satu ide muncul di kepalaku, dan aku langsung berlari ke kamar tanpa mematikan
               TV  lagi.  Di  depan  laptop,  tepat  di  bawah  tulisan  “Oleh:  Alice  Henrietta  Hawkins”  tadi,  aku
               mengetik:

                    Ada  Apa  di  Balik  Imbauan  Pemerintah  Agar  Masyarakat
               Indonesia  Mengganti  Penggunaan  Kompor  Minyak  Tanah  dengan
               Kompor Gas?

                    Akhir-akhir  ini,  pemerintah  sangat  gigih  mengimbau  masyarakat
               untuk mengganti penggunaan kompor minyak tanah dengan kompor gas.

               Ada  motif  apa  di  balik  semua  imbauan  tersebut?  Apakah  benar,  alasan
   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31