Page 30 - dear-dylan
P. 30

“Tak baik bangun siang-siang.”
                    Gue menggumam nggak jelas. Asal tahu aja, Nantulang Saidah ini nantulang gue yang
               paling ceriwis, senangnya mengomentari segala sesuatu. Dia nggak tahu aja jam-jam di saat
               dia tidur nyenyak tuh gue masih harus jejingkrakan nyanyi di kafe. Gue kan kerja, bukannya
               leha-leha.
                    “Datang jam berapa tadi, Nan?” tanya gue, mengalihkan pembicaraan.
                    “Jam sembilan. Mamak kau itu sudah ribut saja menelepon ke rumah. Katanya hari ini
               mau ada rapat pemilihan warna kebaya untuk keluarga.”
                    Ah, satu lagi topik yang berpotensi menghabiskan satu jam untuk diperdebatkan: warna
               kebaya  untuk  keluarga.  Gue  manggut-manggut  sok  peduli,  lalu  beranjak  ke  sofa  di  ruang
               keluarga  dan  menyalakan  TV.  Terdengar  kebisingan  dari  arah  ruang  makan  yang  rupanya
               sudah disulap menjadi “ruang rapat”. Tapi bukannya kembali ke “ruang rapat”, Nantulang
               Saidah malah mengekor gue, dan duduk di sofa juga.
                    “Kau tak ada rencana menikah juga?”
                    GLEK! Apa-apaan ini? Kok tau-tau gue ditodong pertanyaan begini?
                    “Kan kau sudah ada pacar?” tanya Nantulang Saidah lagi.
                    Buseett! Ada sih ada, tapi umurnya belum juga tujuh belas!
                    “Ah, masih kecil dia. Sekolah saja belum selesai.”
                    “Dulu, aku menikah sama tulangmu begitu lulus SMA.”
                    Haha, itu tahun berapa? Gue tertawa dalam hati.
                    “Ya, kan sekarang sudah lain, Nan. Alice harus sekolah dulu. Kalau sudah lulus, barulah
               dipikirkan... mmm... soal ke situ.”
                    Bener-bener  gila,  ngebahas  masalah  gini  aja  bikin  gue  malu  setengah  mati!  Untung
               nggak ada orang lain di sini, apalagi Tora. Kalau si tengil itu ada, gue pasti diketawain habis-
               habisan!
                    “Oh iya, pacar kau namanya Alice ya...” Nantulang Saidah bergumam sendiri.
                    “Ah, di sini kau rupanya, Saidah!” Mama masuk ke ruang keluarga, tangannya berkacak
               pinggang.  “Kenapa  kau  tak  ikut  rapat?  Maria  dan  Uci  sedang  bertengkar  apakah  warna
               kebaya  seharusnya  ungu  atau  pink!  Kau  harus  kasih  pendapat!  Dan  kita  kekurangan  satu
               orang untuk jadi penerima tamu nanti!”
                    Nah kan, gue bilang juga apa. Banyak banget kekacauan hanya karena masalah kebaya-
               kebayaan ini! Kalau gini, lebih baik gue mandi dan main ke kantor manajemen ah! Di rumah
               pasti bakal ribut, Nantulang Saidah saja sudah diseret kembali oleh Mama ke “ruang rapat”.
                    “Ya  ampun,  Dylan!”  Mama  tiba-tiba  berbalik  lagi  ke  ruang  keluarga  dan  berteriak
               melihat  gue,  gue  sampai  kaget!  “Mama  lupa!  Kan  nggak  perlu  repot  cari  penerima  tamu
               lagi...”
                    Ha? Maksudnya GUE gitu yang bakal dijadikan penerima tamu?
                    “Aku, Ma?” Gue menuding diri sendiri.
                    “Ya bukanlah, Nak. Alice! Mama mau minta tolong Alice jadi penerima tamu! Dia pasti
               mau, kan?”
                    Alis  gue  otomatis  terangkat.  Wow,  cewek  gue  sebentar  lagi  bakal  terlibat  dalam
               kekacauan ini juga?
                    “Eh... nggak tau sih, nanti aku tanya dia.” Gue melirik jam dinding, jam segini sih dia
               belum pulang sekolah.
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35