Page 35 - dear-dylan
P. 35
“Undangan,” jawabku cepat. “Ehh... maksudku, ada teman yang masuk nominasi, jadi...”
“Tunggu, Alice,” potong Kak Rana, “kamu kelihatannya nggak asing. Kayaknya aku pernah
lihat kamu di TV...”
Kata-kata Kak Rana membatalkan niatku untuk menutup mulut yang tadi masih menganga
karena belum selesai bicara.
“Ah, hehe... nggak kok, Kakak salah orang. Aku nggak pernah masuk TV, aku kan bukan...”
“Kamu pacar Dylan Skillful!” seru Kak Rana girang.
Oh noooo... tidak lagi! Kenapa sekarang setelah jadi pacar Dylan, semua orang sepertinya
mengenaliku? Bahkan mbah-mbah yang jualan teh botol dan Coca Cola di depan sekolahku pun
waktu itu bilang dia tahu aku pacar Dylan! Sinting sekali!
“Nggg... eh... iya sih...,” jawabku akhirnya, sadar hanya akan membuang tenaga seandainya
aku menyangkal. Bukannya aku nggak suka orang mengenaliku sebagai pacar Dylan sih, tapi yaa...
risih aja gitu. Lagi pula, aku jadi ketularan Dylan, nggak begitu suka membahas hubungan kami
sama orang lain.
“Waow! An honor for me!” kata Kak Rana girang. “Okee, jadi aku bakal mensuplai baju untuk
pacar vokalis band terngetop se-Indonesia...”
Aku jadi merasa makin risih mendengar kata-katanya. Ngagk enak disebut pacar vokalis
band terngetop se-Indonesia. Kesannya, kalau aku bukan pacar Dylan, aku hanya cewek tanpa
identitas. Pathetic. Aku lebih senang kalau orang mengenalku sebagai Alice Henrietta Hawkins
saja.
“Tapi kan udah banyak produk Run & Ran yang dipakai seleb, Kak,” gumamku sedikit
heran. Kenapa Kak Rana girang pakaian milik butiknya akan kupakai, kalau sudah ada begitu
banyak seleb yang mempromosikan Run & Ran? Aku bahkan pernah melihat Cindy, penyanyi
tengil tapi supercuaaantiiikkk dan beken (yang, oke, kuakui, adalah mantan pacar... ehem,
tepatnya pelarian Dylan dulu) itu pakai salah satu sackdress keluaran Run & Ran.
“This is different, Alice!” seru Kak Rana lagi, mendadak ber-English ria, dan tanpa mengacuh-
kan tampangku yang udah berkerut-kerut karena bengong, dia menarikku ke sebuah ruangan di
belakang ruang utama Run & Ran.
“Ini keluaran terbaru,” katanya sambil menunjuk deretan baju yang tergantung di depan
kami. “New arrival. Haute couture. Cuma orang-orang istimewa yang kami, aku dan Runny
maksudnya, perlihatkan baju-baju ini, sebelum dipajang di ruang depan.”
Aku menelan ludah meliaht pemandangan di depanku. Benar-benar deretan gaun paling
menakjubkan yang pernah kulihat! Jauh lebih mengagumkan daripada semua gaun chic dan
fashionable yang ada di ruang depan!
“Oke, let’s start. Boleh tahu berapa ukuran kamu?”
“Heh?” tanyaku tak mengerti.
“Ups, sori. Maksudku... ukuran baju yang biasanya kamu pakai.”
Aku langsung jadi merah padam. Ukuran tubuh adalah salah satu hal yang kerap membuatku
minder. Dan ditanya ukuran tubuh tanpa tedeng aling-aling begini, aku jadi gelagapan.
Kak Rana terdiam sebentar, tapi karena dia melihatku enggan menjawab, dia lalu berjalan
menuju rak. Aku jadi senewen mendadak, apalagi melihat ukuran baju-baju menakjubkan di
depanku yang kelihatannya hanya akan cukup dijejalkan di badan cewek macam Cindy dan
Regina Helmy si model-jangan-sampai-kau-yang-terpaksa-mengompres-pipimu-dengan-es-batu.
“Coba yang ini deh,” kata Kak Rana, menyerahkan sehelai gaun pink dari bahan tafetta halus
ke tanganku. Potongannya sederhana, dengan model leher sabrina dan beberapa rimpel pada