Page 36 - dear-dylan
P. 36
lengannya. Aku mengangguk dan menuju kamar pas di ruangan itu, yang lagi-lagi membuatku
melongo.
2
Bukannya kamar pas standar yang hanya bilik berukuran 1 x 1 m dan berisi cermin
membosankan, kamar pas yang kumasuki adalah ruangan luas dengan karpet ungu muda, berisi
sofa kecil cantik, foto-foto beberapa seleb yang mengenakan produk Run & Ran di dindingnya
(waow, ada Bunga Citra Lestari! Dan Laudya Cynthia Bella!), juga cermin tiga sisi yang
berpinggiran ukiran mewah! Benar-benar butik kelas atas!
Aku mulai membuka bajuku, dan memakai gaun yang diberikan Kak Rana dengan hati-hati.
Bisa gawat kalau ada yang robek karena nggak muat, gimana bayarnya nanti, coba? Dan sebagai
cewek setengah bule, aku agak yahh... benci pada ukuran dadaku... yang lebih daripada cewek-
cewek kebanyakan. Banyak banget baju yang saat kupakai muat di pinggang, pinggul, dan
sebagainya, tapi bagian dadanya membuatku sesak napas.
Tapi aneh sekali, bagaimana gaun yang tadinya kukira hanya akan berhenti di kepalaku itu
sukses meluncur turun melewati bahu, dada, pinggang, dan pinggul, lalu jatuh dengan indah di
tubuhku. Aku lebih bengong lagi saat melihat cermin, menyadari aku kelihatan jauh lebih
langsing dari sebenarnya! Ohh, gaun mahal memang berbeda!
Aku keluar dari ruang pas itu dan berhadapan dengan Kak Rana, yang menatapku dari atas
ke bawah, lalu menggeleng pertanda tak setuju.
“Lho kenapa, Kak?” tanyaku nggak paham. Bukannya gaun ini hebat banget? Badanku yang
melar aja bisa kelihatan bagus banget di kaca tadi!
“Warnanya kurang menonjolkan warna matamu... Ah, aku salah pilih...”
Kurang menonjolkan warna mataku, katanya? Mataku yang warnanya nggak jelas antara
cokelat buram dan hitam ini? Penting ya ditonjolkan?
Kak Rana berdecak, lalu dia mengoprek rak bajunya lagi, dan menarik gaun kuning lembut
bertali spageti dengan pita yang menyatu di bagian dada.
“Coba yang ini, Alice.”
Aku menurut, dan mengulang lagi prosedur mengepas baju yang tadi kulakukan. Hebatnya,
kali ini gaun tali spageti itu meluncur turun dengan lebih mudah dibanding gaun tafetta pink tadi,
dan aku semakin bengong melihat bagaimana aksen pita besar di dada itu mengalihkan perhatian
dari pinggangku yang berlemak. Wow!
Dengan senyum masih mengembang di wajah, aku melangkah keluar kamar pas. Kak Rana
memandangiku lagi dengan tatapan menilai, lalu, anehnya, dia sekali lagi menggeleng!
“Aduh, salah lagi... salah lagi...,” dia mengomeli dirinya sendiri.
“Eh, nggak kok, Kak. Gaunnya bagus banget. Enak dipakai,” kali ini aku memberanikan diri
bicara. Kalau gaun sebagus ini salah, yang benar seperti apa dong?
“Itu kurang menonjolkan bentuk tubuhmu,” kata Kak Rana dengan nada kecewa, entah
pada gaun rancangannya atau pada bentuk tubuhku. Hah, kayak aku kepingin bentuk tubuhku
ditonjolkan saja!
“Nah! Yang ini saja!”
Kak Rana menjatuhkan ke tanganku sehelai gaun turkois berpotongan leher V dengan
bentuk rok A-line sepanjang lutut. Bahannya ringan, dan ada semacam cincin perak gemerlap di
bagian yang nantinya akan menempel pada bahu.
“Coba, Lice, coba!” kata Kak Rana dengan semangat anak kecil yang nggak sabar mencoba
mainan baru, dan aku kembali ke kamar pas dengan enggan. Seandainya saja aku boleh memilih
gaun kuning pastel bertali spageti yang masih kukenakan sekarang. Gaun ini cantik sekali...