Page 37 - dear-dylan
P. 37

Aku melepas gaun di tubuhku dengan perasaan berat, seolah badanku nggak mau berpisah
               dengan gaun ini. ah, kalaupun membeli gaun ini akan membuatku diomeli Mama karena tagihan
               kartu  kreditnya  nggak  wajar  bulan  depan,  aku  pasti  rela.  Rasanya  aku  nggak  akan  pernah
               menemukan gaun secantik ini lagi...
                    Setelah memakai gaun turkois hasil paksaan Kak Rana, aku berjalan keluar kamar pas. Aku
               nggak  berminat  melihat  penampilanku  di  cermin,  karena  pasti  akan  semakin  membuatku
               kepingin memakai gaun kuning pastel yang tadi lagi.
                    “Waaahhh, cantiknyaaa!”
                    Aku mendongak dan melihat Kak Rana tersenyum sumringah sambil bertepuk tangan.
                    “Coba dari tadi aku menyuruhmu pakai gaun yang ini!”
                    Huhuhu, nggak mau... Aku mau gaun yang kuning pastel tadi...
                    “Sekarang aksesorinya...” Kak Rana menuju sudut ruangan (yang tadi nggak kuperhatikan
               saking terpesonanya aku sama jajaran gaun di depanku) tempat kotak-kotak seukuran kotak kue
               tar ditumpuk rapi, dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
                    “Ini, nanti rambutmu dikucir ke atas aja, terus pakai ini. Oya, poninya disasak terus disisr ke
               belakang aja ya! Pasti cantik banget! Dia menyurukkan semacam jepit ke telapak tanganku. Jepit
               itu berbentuk bunga lili putih bersih seukuran bunga aslinya, dengan daun tiruan hijau segar yang
               menjuntai, juga putik bunga yang berwarna kuning lembut. Wow, kalau aku nggak melihatnya
               dari jarak sedekat ini, aku pasti akan keliru mengira jepit ini dibuat dari bunga asli! Bener deh,
               harga bisa membeli kualitas!
                    Kak Rana memasangkan jepit itu di rambutku, di sisi kanan, menjepit poniku sedikit.
                    “Ini sepatunya.”
                    Aku  menunduk  dan  melihat  Kak  Rana  sudah  meletakkan  stileto  perak  dengan  tali-tali
               berkilau di depan kakiku. Entah berapa tinggi itu haknya???
                    “Ayo, dipakai.”
                    Aku cengengesan nggak jelas, lalu menunduk untuk memasang stileto itu dan mengikatkan
               tali-talinya di sekeliling betisku. Agak susah menunduk dengan gaun begini.
                    “Aduh, Alice, cantik banget!” Kak Rana berdecak sambil menatapku. Entah apa dia benar-
               benar mengagumi penampilanku atau mengagumi gaun milik butiknya yang berhasil menyulap
               penampilanku jadi “wow”.
                    “Tapi, Kak...” aku berusaha menjelaskan aku suka banget sama gaun kuning pastel bertali
               spageti tadi, tapi Kak Rana nggak mendengarkan. Dia malah menarik tanganku, mendekati kotak-
               kotak aksesori tempat dia mengambil jepit rambut tadi, dan membuatku memandangi pantulan
               bayanganku di cermin besar yang menempel di dinding.
                    “Looks beautiful, eh?” Kak Rana mengedipkan sebelah mata padaku.
                    Aku nggak menjawab, masih memandangi pantulan bayanganku sendiri. Ha, that can’t be me!
               Nggak mungkin cewek di cermin itu aku! Percaya deh, aku nggak selangsing itu... Dan nggak
               mungkin sebuah jepit rambut bisa mengubah wajahku jadi manis begini! Lagi pula, mana ada
               sepatu yang bisa membuat tungkai kakiku yang pendek ini jadi terlihat panjang???
                    “Waooowww!”
                    Aku  menoleh  mendengar  suara  kagum  itu,  dan  mendapati  Grace  berdiri  di  belakangku
               sambil mencomoti kentang goreng dari kantong kertas berlogo McDonald.
                    “Gila,  Lice,  lo  cantik  bangeeeetttt,”  katanya  lagi,  kali  ini  sambil  menggeleng-geleng  tak
               percaya.
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42