Page 32 - dear-dylan
P. 32

“Hebatnya, udah juga.” Dia nyengir. “Apa tema lo?”
                    “Ada Apa di Balik Imbauan Pemerintah Agar Masyarakat Indonesia Mengganti Penggunaan Kompor
               Minyak Tanah dengan Kompor Gas?”
                    Aku  melihat  alis  Grace  nyaris  menyatu  di  tengah  dahinya.  “Ya  meneketehe!  Tanay
               pemerintah dong ah!”
                    Aku terkikik begitu menyadari Grace salah sambung. “Gue tuh bukan nanya ke lo, tau! Gue
               lagi ngasih tahu apa tema kartul gue!”
                    Mulut  Grace  membulat  besar  waktu  dia  mengucapkan  “oooo”  yang  panjang.  Dia  lalu
               setengah merampas kertas print-out karya tulis yang kupegang, dan membacanya sekilas.
                    “Wow, lo dendam sama pemerintah? Seems like you’re yelling right on their ears here. If they still
               have it, I mean.”
                    “Ah,  nggak.  Gue  tuh  tadi  malam  nggak  ada  ide,  terus  gue  nonton  berita  di  TV.  Nah,
               beritanya pas ini, jadinya yaa... gue nulis tentang ini aja.”
                    Sekali lagi Grace ber-“oooo” panjang.
                    “Punya lo tentang apa?” tanyaku balik.
                    “Hehehe...”
                    “Apaan  sih,  malah  cengengesan?  Sini,  gue  lihat!”  Aku  merampas  hasil  print-out  yang  ada
               dalam genggamannya, lalu membacanya dengan cepat.
                    “Bagaimana Rasanya Jadi Sahabat Pacar Vokalis Band Top di Indonesia??? Graceee!!!”
                    Aku berlari mengejarnya keliling kelas sebisaku, tapi meningkatnya porsi chicken nugget, sosis,
               hamburger, dan es krim yang kutelan belakangan ini rupanya mulai menunjukkan dampak buruk:
               aku nggak bisa mengejar Grace karena napasku sudah setengah-setengah!
                    “Awas  hah...  lo  hah...  Grace  hah...,”  kataku  kehabisan  napas,  dan  terduduk  lemas  di
               bangkuku. Apa jadinya kalau Pak Rudi membaca karya tulis tengil milik Grace itu?!
                    Hii... membayangkannya saja aku sudah horor sendiri! Mana perasaanku nggak enak, pula...

                                                          * * *

               “Ayolah, Lice, toh seisi dunia udah tahu lo pacaran sama Dylan!”
                    “Seisi dunia prasejarah!” gerutuku jengkel. “Gue bener-bener malu disuruh baca karya tulis
               lo di depan kelas, tau!”
                    “Iya, iya, maaappp... Lain kali gue nggak nulis kartul tentang diri lo lagi deh, janji!”
                    “Nggak gue maafin!”
                    Aku meleletkan lidah padanya, dan berjalan menuju meja kantin bakso Pak Amboi sambil
               ngedumel. Tadi aku bener-bener sudah dipermalukan di kelas, dan ini semua gara-gara karya tulis
               Grace yang konyol itu! Bayangkan, sekali lagi, BAYANGKAN, aku disuruh membaca karya tulis
               Grace itu di depan kelas, karena AKU-lah objeknya! Apa aku sudah sama menariknya dengan
               kenapa-pemerintah-mengimbau-masyarakat-mengganti-kompor-minyak-tanah-dengan-kompor-
               gas, sampai-sampai dijadikan tema karya tulis?
                    “Aliceeee... gue ngaku salah deh. Gue traktir baksonya, ya? Ya? Ya? Lo nggak ngerti posisi
               gue sih, Lice, gue beneran mati ide tadi malam!”
                    “Gue juga mati ide, tapi gue kan nggak nulis tentang...” aku memutar otakku secepat kilat,
               “gue nggak nulis tentang... bagaimana-rasanya-jadi-sahabat-cewek-yang-kakaknya-punya-koneksi-
               mantap-mantap!”
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37