Page 39 - dear-dylan
P. 39
* * *
“Huaahh... gila, gue nggak bakal makan di situ lagi deh! Tobat!” Grace ngedumel sambil
mengelus-elus perutnya dengan wajah meringis. “Baru kali ini gue mencri-mencri di mal!”
Aku cekikikan. Tadi setelah dari Run & Ran, Grace menyeretku ke restoran yang
menyediakan menu masakan Sunda. Dia pesan ikan bakar bumbu ekstrapedas dengan gaya yang
sangat meyakinkan, tapi begitu mulai makan, dia mendesis-desis kepedasan, sampai banjir
keringat! Ternyata tukang masak di restoran itu benar-benar menuruti deskripsi “ekstrapedas”
yang diberikan Grace! Grace bilang, pasti ada lebih dari sepuluh cabe di sambal ikan bakarnya!
Tapi emang dasar rakus, dia nekat menghabiskan pesanannya itu, walaupun mulutnya sudah
berasap kayak lokomotif Hogwarts Express. Akibatnya dia menghabiskan hampir satu jam
berikutnya di toilet mal, mengucurkan semua isi perutnya yang bergolak akibat sambal
ekstrapedas itu.
“Makanya, lain kali nggak usah sok gaya pesan yang ekstrapedas! Lo kan belum tahu level
pedas di resto itu kayak apa! Bisa aja yang pedasnya sedang ternyata udah sesuai sama selera lo.”
“Lice, lo prihatin dikit kek temen lo lagi kesusahan begini! Jangan malah ngomelin dong!
Aduuuhh... perut gue masih melilit nih...” Grace meringis sambil mengusap-usap perutnya lagi.
Kami terus berjalan melintasi tempat parkir menuju tempat mobil Grace diparkir, berniat pulang
karena udah kecapekan plus Grace nggak sanggup lagi jalan-jalan dengan perut jungkir-balik.
“Eh eh eh... kenapa nih?” tanya Grace begitu kami sampai di sebelah mobilnya.
“Kenapa? Lo mau balik ke toilet lagi?” tanyaku khawatir. Kalau iya, berarti ini sudah ketujuh
kalinya Grace masuk toilet dalam satu jam terakhir. Sudah masuk tingkat mengkhawatirkan nih,
harus dibawa ke rumah sakit, kalau nggak dia bakal dehidrasi!
“Nggak, nggak. Nih, lihat nih!” Grace menunjuk mobilnya, dekat pintu kursi pengemudi,
dan aku langsung menyadari apa yang dia tunjuk itu.
Mobil Grace adalah lungsuran dari Kak Julia, Toyota Kijang LGX keluaran tahun 2003, yang
masih dalam kondisi mulus. Tapi sekarang, di dekat pintu pengemudi, ada bekas sesuatu yang
dicabut. Masih ada sisa-sisa lem menempel di sana, dan aku nggak perlu menebak-nebak apa
tadinya yang menempel di situ: tulisan KIJANG beserta gambar kepala Kijang yang pasti ada di
tiap mobil bertipe ini.
“Hah? Kok bisa gini?” tanyaku bingung.
“Gila, yang kayak begini bisa dicuri orang juga?” Grace berdecak, lalu dia mengelilingi
mobilnya, memeriksa kalau-kalau ada yang hilang lagi, tapi ternyata semua masih lengkap kecuali
tulisan KIJANG itu.
“Tadi waktu kita turun, tulisannya masih ada, kan?” tanyaku memastikan.
“Masih. Gue ingat banget kok. Pasti diambil orang waktu kita belanja di dalam tadi.” Wajah
Grace sekarang serius banget, nggak kelihatan bahwa sepuluh menit lalu dia merintih-rintih
karena harus bolak-balik ke toilet.
“Kita cari sekuriti?” tawarku, dan secara kebetulan dua satpam lewat, berboncengan sepeda
motor. Aku menghentikan mereka, dan menjelaskan apa yang terjadi pada mobil Grace.
“Gimana ini?” tanyaku galak pada kedua satpam itu setelah selesai bercerita. “Padahal kami
bayar uang parkir di sini, tapi kenapa mobil teman saya jadi begini?” Entah kenapa aku tiba-tiba
merasa marah.