Page 43 - dear-dylan
P. 43
“Apa... si Yopie itu suadh tahu soal skenario ini?” tanya gue setelah beberapa saat
ruangan senyap.
“Ya, dia udah tahu. Dia setuju apa pun skenarionya.”
Jelas aja! Toh dia kepingin bandnya ngetop! Dasar artis karbitan!
“Dylan, tolong... Kamu bisa bicara sama Alice, dia pasti nggak keberatan membantu
kamu...”
Iya, dianya nggak keberatan, gue yang keberatan!
“Nggak. Sori, aku nggak bisa kalau skenarionya kayak gitu, Bang.”
Dan gue meninggalkan ruang Bang Budy, juga melewati Dudy dan Dovan yang siap
menginterogasi di depan sana, tanpa mengatakan apa-apa.
Pertama masalah pernikahan Tora, sekarang masalah ini. Kalau ada masalah satu lagi,
kayaknya gue bakal mati. M-A-T-I.
* * *
Sumpaahh, gue bengong sebengong-bengongnya waktu ngeliat penampilan Alice!
Gilaaa... dia cantik BANGET!
Harusnya gue sering-sering ajak dia ke acara begini ya, biar gue bisa lihat dia dandan?
Wah, cewek gue top abis lah pokoknya!
Dan untung juga gue udah minta izin sama Bang Budy supaya gue dibolehin pinjam
mobil plus sopir manajemen untuk malam ini (tahu sendiri kan kalaug ue nggak bisa, dan
nggak suka, nyetir mobil?). Kalau nggak, rusak deh dandanan Alice! Masa udah dandan
cantik-cantik begitu, gue tega ngajak dia boncengan naik motor? Toh Dudy, Dovan, Ernest,
dan Rey pada berangkat naik mobil sendiri-sendiri dan mobil ini nganggur, ya gue pake aja.
Memang ya, cewek kalau sehari-hari tampil apa adanya, begitu dandan kelihatan cantik
banget... Inilah kenapa gue suka punya pacar dari kalangan nonseleb. Secara, kalau seleb kan
tiap hari make-up-nya tebal punya, jadi kalau special occassion gini juga penampilannya
nggak special. Yang ada dandanannya makin menor, dempulnya makin tebal!
Kalau Alice sih, wahh... lain deh pokoknya! Gue juga suka banget bajunya, warnanya
antara campuran hijau dan biru gitu (apa sih istilahnya untuk warna ini???), dan modelnya
juga nggak berlebihan, tapi pas banget buat dia. Terus bunga di rambutnya itu... gue sempat
mengira asli, sebelum Alice bilang itu cuma bunga tiruan.
Nah, gue agak malu mengakui, tapi gue bener-bener nggak bisa melepaskan pandangan
gue dari dia sejak gue jemput di rumahnya. Bahkan sekarang di dalam mobil yang gelap dan
dalam perjalanan menuju lokasi MTV Awards pun, gue memandangi dia tanpa henti.
“Kamu cantik banget malam ini,” kata gue akhirnya. Heran, ngomong kayak begini saja
kok susah banget ya?
Alice menoleh, dan tersenyum kecil. “Makasih.”
Dan tiba-tiba saja, gue sudah mencium pipinya. Alice tersenyum lagi.
“Oya,” gue memulai obrolan, teringat permintaan Mama, “Mama minta kamu jadi
penerima tamu di pestanya Tora sama Mbak Vita.”
“Penerima tamu?”
“Iya, cewek-ceweknya kurang satu, katanya.”
“Ohh... ya udah, nggak papa, aku mau.”

