Page 48 - dear-dylan
P. 48

undangan buat lewat di red carpet ini? Bandnya kan baru tanda tangan kontrak sama label.
               Mereka... yah, boleh dibilang belum terkenal. Sekali lagi, bukannya gue nyombong lho.
                    “Mmm, kalau boleh, gue sama cewek gue mau masuk dulu.” Gue berusaha senyum, dan
               menggandeng tangan Alice untuk masuk ke venue.
                    Tapi dia memanggil gue lagi.
                    “Dylan, tunggu!”
                    Gue menoleh dengan bete. Apa lagi sih ni orang?!
                    “Manajer lo... udah cerita kan, soal skenario Pak Leo?”
                    “Ya, tapi gue nggak setuju,” jawab gue dingin.
                    Gue merasakan tangan Alice gelisah dalam genggaman gue, dan waktu gue menatapnya,
               dia  kelihatan  benar-benar  bingung.  Ah,  berarti  nanti  gue  harus  dengan  jujur  menjelaskan
               sama dia soal masalah ini, nggak bisa bohong lagi. Pasti nanti suasananya bakal nggak enak,
               dan ini semua gara-gara si artis karbitan yang berhasrat tinggi untuk masuk infotainment ini!
                    “Tapi itu harus! Lebih cepat lebih baik!” si artis karbitan mengoceh lagi.
                    Gue mulai habis kesabaran, apalagi orang-orang yang lewat di sekitar kami mulai curi-
               curi pandang penasaran. Kalau orang yang harus gue tonjok tuh nyebelinnya selangit begini,
               gue nonjoknya nggak bakal pura-pura! Dengan sepenuh hati deh!
                    “Dengar ya,” kata gue sambil berusaha sabar, “pertama kali gue dikasih tahu skenario
               sinting ini, gue nggak setuju. Apalagi setelah Pak Leo bilang alasan gue menonjok lo adalah
               karena lo ganggu Alice, gue makin KEBERATAN!”
                    Ada  pekik  terkejut,  dan  gue  dengan  ngeri  melihat  Alice  menutup  mulutnya  dengan
               tangan. Yeah, dia pasti dengar apa yang gue bilang ke si artis karbitan itu barusan. Oh damn,
               memang seharusnya gue cerita sama Alice sebelum ini, jadi dia nggak akan sekaget ini.

                    “Tapi ini demi publikasi band gue...”
                    “Emangnya gue pikirin?! Mau band lo ngetop kek, gagal kek, mengais-ngais tanah kek,
               gue nggak peduli!”
                    Gue berbalik, dan berusaha secepat mungkin menggandeng Alice menuju pintu masuk
               venue, tapi Yopie masih terus mengoceh.
                    “Cih, baru gitu ja udah sombong! Kalau tahu lo belagu begini, gue ganggu aja tuh cewek
               lo beneran!”
                    Kalau  ada  yang  mengatai  gue  vokalis  band  paling  payah  se-Indonesia  sekalipun,  gue
               nggak  akan  semarah  ini.  Omongan  Yopie  barusan  benear-benar  sudah  bikin  tembok
               pertahanan emosi gue berantakan.
                    Tau-tau, tinju gue sudah mendarat di mukanya, dan dia mengaduh-aduh kesakitan di atas
               lantai pualam JHCC.
                    Yeah, gue menang TKO. Haha.
                    Saat mendongak, gue melihat sudah ada kerumunan kecil orang di sekitar gue, Alice, dan
               Yopie.
                    Dan sekali lagi, jutaan blitz yang silaunya gila-gilaan itu berpendar di depan gue, dengan
               bunyi jeprat-jepret yang memualkan.
   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53